Taqiyah

Jumat, 25 Januari 2008

 

 

BISMILLAHIRRAHMĂNIRRAHĮM

TAURIYAH TIDAK SAMA DENGAN TAQIYAH

Oleh: Ki Waras Jagat Pakuan

 

"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu [bukanlah ayah dari salah seorang sahabat, karena itu janda Zaid dapat dikawini oleh Rasulullah s.a.w.], tetapi Dia adalah Rasulullah dan khatam [paling mulia di antara] para nabi dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu."[1]

 

            Jika seorang Ahmadi dalam kondisi tertentu ia mengatakan bahwa: Nabi Muhammad Saw. adalah Nabi Penutup atau Nabi Terakhir, maka seorang Ahmadi itu tentunya telah berbicara sesuai dengan kaidah-kaidah Ilmu Balaghah, khusunya Ilmu Badi'. Dalam Ilmu Balaghah, mutakallim (pembicara) memang dituntut untuk berbicara sesuai dengan situasi dan kondisi (muthābiq limuqtadhal hāl). Dalam Ilmu Badi' pula kita mengenal At-Tauriyah yang merupakan salah satu topik yang sangat penting untuk kita ketahui dan pahami. Terlebih-lebih jika kita mau melanjutkannya kepada kajian-kajian ilmu mantiq (logika) agar kita terhindar dari kekeliruan bebicara dan berfikir.

 

Apa Ilmu Balaghah Itu?

            Ilmu Balaghah adalah suatu disiplin ilmu yang berlandaskan kepada kejernihan jiwa dan ketelitian menangkap keindahan dan kejelasan perbedaan yang samar di antara macam-macam ungkapan. Dengan demikian Ilmu Balaghah akan berfaidah untuk mendatangkan makna yang agung dan jelas, dengan ungkapan yang jelas dan fasih, memberi bekas yang berkesan di lubuk hati, dan sesuai dengan situasi, kondisi, serta sesuai pula dengan kondisi lawan bicara.

 

Apakah Ilmu Badi' Itu?

            Ilmu Badi' ialah ilmu yang dengannya diketahui segi-segi dan keistimewaan-keistimewaan yang dapat membuat kalimat semakin indah, bagus, dan menghiasinya dengan kebaikan dan keindahan, setelah kalimat tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi serta jelas akan makna yang dikehendaki.

 

Apakah Tauriyah Itu?

              Tauriyah secara etimologi merupakan bentuk masdar dari : warraitu al-khobara tauriyatan, artinya saya menutupi berita itu dan menampakkan makna yang lainnya. Adapun menurut terminologi, Tauriyah adalah: Seorang yang berbicara menyebutkan lafaz yang tunggal, yang mempunyai dua macam arti. Yang pertama makna yang dekat dan jelas tetapi tidak dimaksudkan (ghair maqshūd), dan yang lain (yang kedua) adalah makna yang jauh dan samar tetapi justeru itu yang dimaksudkan (ba'id maqshūd khafiyy) dengan adanya indikasi yang mengarah ke sana, namun mutakallim (yang berbicara) tadi menutupinya dengan makna yang dekat. Dengan demikian pendengar menjadi salah sangka sejak semula bahwa makna yang dekat itulah yang dikehendaki, padahal tidak".[2]

 

Contoh-contoh Tauriyah:

·        Firman Allah Ta'ala:

 

Artinya: "Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang telah kamu kerjakan (Jarohtum) di siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur(mu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan".[3]

     Allah Ta'ala menghendaki dengan kalimat "jarohtum" (yang telah kamu kerjakan), pada makna yang jauh, yaitu "irtikābu al-dzunūb" (melakukan dosa-dosa).

·        Sabda Khalilullah, Nabi Ibrahim as. ketika diinterogasi oleh oleh Raja Abimelekh, seorang diktator perihal seorang wanita (Hagar/isteri beliau) yang bersertanya, Beliau menjawab atas pertanyaan Abimelekh: Hādzihi ukhtiy (ini saudara perempuanku). Yang dimaksud dengan "saudara perempuanku" adalah makna yang jauh yaitu "saudaraku seagama atau se-Tauhid".[4]Adapun makna yang dekat yakni; Ini adik atau saudara perempuanku, makna ini tidak beliau maksudkan.

·        Nabi Ibrahim as. bersabda: Inniy saqiim (Aku sungguh sakit)[5], yang beliau maksudkan dengan kata "Aku sungguh sakit" itu adalah makna yang jauh; yakni "Aku sungguh merasa sakit dan sedih melihat kalian menyembah apa-apa selain Allah". Makna dekat dari kalimat Aku sungguh sakit adalah Aku sungguh sakit kepala (misalnya) atau ….." dan makna ini tidak dimaksudkan oleh beliau.

·        Seorang Ahmadi yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. adalah ākhirul anbiyā (akhir atau penutup para Nabi), maka yang dimaksud adalah ākhirul anbiyā fii al-tasyri' (akhir atau penutup para Nabi yang membawa syari'at atau hukum baru selain hukum Islam). Demikian juga jika dalam kondisi tertentu seorang Ahmadi mengatakan Nabi Muhammad Saw. adalah "Nabi Penutup"  maka yang dimaksudkan oleh Ahmadi itu adalah makna yang jauh yakni "Nabi Penutup yang membawa syari'at" dan bukan makna yang dekat yang berarti Nabi Penutup segala kenabian.

Walhasil, Tauriyah dalam aplikasinya akan merupakan salah satu bentuk gaya bahasa yang biasa digunakan para Nabi, Wali dan orang-orang bijak sebagai ungkapan diplomatis yang dibenarkan syari'at, bukan kedustaan dan bukan pula taqiyah.

 

Apa Taqiyah itu?

      Taqiyah berasal dari kata ittaqaytu asy-syaia wa taqaytuhu attaqihi wa atqihi tuqan tuqon wa taqiyyatan wa tiqāan, artinya "saya mewaspadainya". Adapun dalam istilah Syi'ah taqiyah adalah, bila "kamu mengatakan atau melakukan selain yang kamu yakini untuk menolak mudharat atas dirimu atau hartamu atau untuk menjaga kehormatanmu. Seperti bila kamu berada di antara kaum yang beragama selain agamamu dan mereka sangat berlebihan dalam fanatic. Yaitu sekiranya kamu tidak sama dengan mereka dalam ucapan dan perbuatan, maka mereka akan sengaja melakukan kemudharatan atau berlaku jahat kepadamu.Maka kamu berperilaku sama seperti mereka sekadar untuk menjaga dirimu dan menghindarkan gangguan kepadamu. Sebab keadaan dharurat ditentukan sesuai dengan keadaannya."[6]

Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as., Pendiri Jemaat Ahmadiyah menyatakan tentang taqiyah ini :

Sungguh saya sudah bergaul dengan ulama-ulama khawāsh (terkemuka) dan ulama-ulama biasa dan saya pun telah melihat semua tingkatan-tingkatan keruhaniyan mereka, akan tetapi saya tidak melihat adanya ajaran taqiyah, yakni ajaran yang menyembunyikan kebenaran dan kenyataan yang sebenarnya kecuali pada orang-orang yang tidak mempunyai pertalian dengan Allah Yang Maha Gagah. Demi Allah, jiwa saya ini tidak akan ridha jika harus "menjilat" (cari muka) dalam urusan agama walaupun hanya sekejap, walaupun jiwa saya ini harus disembelih dengan sebilah pisau. Demikian juga hal itu berlaku bagi setiap orang yang telah diberi petunjuk Allah Ta'ala sebagai bentuk karunia dan kasih-Nya juga bagi setiap orang yang telah dikaruniai keikhlasan sebagai rizki yang baik. Maka ia tidak akan menyukai kemunafikan dan tidak pula akan menyukai perilaku orang-orang munafik.

Terkadang aku membaca sebuah kisah dari satu kaum yang telah memilih    kematian daripada harus hidup dengan "menjilat", mereka sama sekali tidak menginginkan untuk hidup dengan taqiyah walau sekecap, seraya mereka berdoa:!"Ya Tuhan Kami, Limpahkanlah kesabaran kepada Kami dan wafatkanlah Kami dalam Keadaan berserah diri (kepada-Mu)".[7]

 

 Semoga tulisan yang ringkas dan sederhana ini akan bermanfaat buat segenap anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia tercinta khususnya yang sedang memasuki "era-Nabi Ibrahim as" dalam rangka memasuki Pintu Gerbang 100 Tahun Kemenangan Khilafah Ahmadiyah.pada bulan Mei 2008. Isya Allah panasnya api penentangan dan fitnahan akan segera kita lalui dengan selamat sentausa.

Rabbanā lā taj'alnā thu'matan lilqaumizhālimiin.  Rabbanā lā taj'alnā fitnatan lilqaumizhālimiin wa najjinā birahmatika minalqaumil kāfiriin. Bismillahi Rabbunāllah hasbunāllah tawakkalnā 'alallah, I'tashamnā billah fawwadhnā umūranā ilallah mā syāallah lā quwwata illā billah. (Wahai Tuhan kami, janganlah engkau jadikan kami sebagai santapan orang-orang yang zhalim. Wahai Tuhan kami, janganlah engkau jadikan kami sebagai sasaran fitnah orang-orang yang zhalim dan selamatkanlah kami dengan rahmat Engkau dari gangguan orang-orang kafir. Dengan menyebut nama Allah, Tuhan kami adalah Allah, memadailah Allah sebagai pelindung kami, kami bertawakal kepada Allah, kami berpegang teguh kepada Allah, oleh karena itu kami serahkan urusan-urusan kami kepada Allah karena tidak ada kekuatan yang ada pada kami kecuali dari Allah".[8]

Amin wal hamdulillahirabbil 'alamin

Jazakumullah khairal jaza.

 

Pakuan,  26 Januari 2008.

 



[1]  Q.S. Al-Ahzab [33]:41

[2] Assayyid Hasyim Al-Hasyimi, Jauhar Al-Balāghah, Darul Fikr, Beirut, 1994, hal 310-311.

[3] Q.S. Al-'An'ām [06]:61.

[4]  H.R. Bukhari, lihat pula Kejadian 20:2-13. , dan  Jauhar Al-Balāghah,  hal 310

[5] Q.S. Ash-Shaffat [37]:89.

[6] Ali Ahmad As-Salus, Prof.Dr., Ensiklopedi Sunnah – Syiah, Pustaka Al-Kautsar, 2001, vol I, hal.333-334.

[7]  Ghulam Ahmad, Hadhrat, Mirza, Sirrul Khilāfah, Riyadhul Hindi, Amritsar, 1312 H. hal.37-38.

[8] Penulis berharap semoga kita sudi membaca atau mewirid do'a ini sebanyak-banyaknya sebagai salah satu bentuk zikrullah dan itstighasah dan pengaduan kita kepada-Nya.

1 komentar:

Rahmat Ali mengatakan...

What a nice blog content! ;-)