MUBAHALAH

Senin, 04 Februari 2008

 

MENJAWAB TUDUHAN (I)
MUBAHALAH
MIRZA GHULAM AHMAD
dengan
SANAULLAH AMRITSARI
Oleh: Ki Waras Jagat Pakuan
 
Tulisan berseri ini bertujuan untuk memberikan jawaban atas berbagai tuduhan, fitnah dan kekeliruan setia orang yang memusuhi bahkan mencaci maki Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, yang penulis yakini sebagai Al-Masih Al-Mau'ud dan Al-Mahdi,atau dalam istilah dunia spiritual dengan sebutan RATU ADIL IMAM MAHDI, berdasarkan fakta-fakta sejarah dan realitas yang ada.
 
Menjawab Tuduhan Abdul Halim Mahali
Abdul Halim Mahali menulis:
Salah satu ulama Anak Benua di garda terdepan yang menentang deklarasi Mirza sebagai Utusan Tuhan adalah Maulana Sanaullah Amritsari, yang juga editor majalah Ahlul-al-Hadis di sebuah kota di India. Perdebatan keduanya, khususnya melalui media massa, begitu serius, bahkan Mirza sendiri sering dipatahkan argumennya. Untuk menutupi kelemahan dan mencegah para pengikut ajaran Ahmadiyah Qadiani berpaling, maka Mirza Ghulam Ahmad pun menyatakan sebuah pengumuman berisi sumpah yang ditujukan kepada Maulana Sanaullah pada tanggal 15 April 1907.
 
"Jika saya divonis sebagai seorang pembohong  besar seperti yang anda selalu tulis di majalah Ahlul-al-Hadis, maka saksikanlah bahwa aku akan mati sebelum engkau mati. Karena, saya juga tahu bahwa seorang pembohong dan pembuat kabar palsu tidak akan berumur panjang serta tidak akan sukses selama hidupnya di dunia. Akan tetapi, jika saya bukan seorang pembohong seperti yang dituduhkan dan saya benar-benar telah diberi wahyu sekaligus sebagai Isa al-Masih yang dinantikan itu, maka dengan izin Tuhan, saya berharap engkau tidak akan mampu melepaskan diri dari hukuman-Nya. Jika hukuman terhadap dirimu itu hukuman yang bukan buatan manusia, tetapi berasal dari Tuhan seperti penyakit infeksi luar biasa dan kolera, tidak terjadi selama hidupku, maka saya bukan orang yang memperoleh wahyu dari Tuhan".
      Kenyataan sejarah membuktikan, setahun pasca sumpah yang dibuatnya sendiri, Mirza Ghulam Ahmad ternyata lebih dahulu meninggal. Maulana Sanaullah Amritsari wafat pada usia 80 tahun, yaitu 15 Maret 1948, sekitar 40 tahun setelah kematian Mirza. Pertanyaan besar yang silahkan masing-masing pembaca menjawabnya adalah: siapa sesungguhnya yang layak berstatus sebagai pembohong dan pembuat kabar palsu?[1]
    
     Pengumuman pernyataan sumpah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as. yang dikutip oleh Abdul Halim dalam tulisannya itu bukanlah tanggal 15 April 1907 melainkan yang sebenarnya adalah tanggal 5 April 1907 yang terdapat dalam Tabligh Risalah.[2] Adapun peristiwa tersebut mempunyai latar belakang yang tidak diceritakan oleh Abdul Halim. Kronologisnya yaitu, di antara para ulama yang ditantang untuk mubahalah oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as. di dalam buku beliau Anjaam-e-Atham yang diterbitkan tahun 1897.[3] Dan dalam buku tersebut tercantum pula nama Maulvi Sanaullah pada urutan ke-11. Saat itu Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as. berusia 62 tahun dan Maulvi Sanaullah masih muda berusia 29 tahun. Tetapi Sanaullah merasa takut menerima tantangan itu dan tidak pernah memperlihatkan kecenderungan untuk menerima. Tetapi mungkin sekali disebabkan desakan dari pihak publik yang non-Ahmadi, ia pun menantang Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as. untuk bermubahalah di dalam korannya yang bernama Ahli Hadis. Menanggapi tantangan itu Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as. menulis di dalam buku beliau I'jaz Ahmadi yang diterbitkan pada tahun 1902 sebagai berikut: "Saya telah melihat pemberitahuan Maulvi Sanaullah dari Amritsar yang menyatakan bahwa ia ingin sungguh-sungguh agar ia dan saya hendaknya berdoa sehingga barangsiapa yang bersalah dari antara kami akan meninggal dunia pada masa hidup pihak yang benar." (I'jaz Ahmadi, Ruhani Khazain, vol.19, hlm.121). Kemudian beliau menambahkan: "Ia telah membuat usul yang baik, saya percaya ia akan menepatinya" (I'jaz Ahmadi hal.14).[4]
     Dan perlu diingat, saat itu umur Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as. telah bertambah menjadi 67 tahun dan Maulvi Sanaullah berumur 34 tahun. Walaupun demikian, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as. tanpa ragu-ragu menyambut tan-tangan Maulvi Sanaullah ini dan mengumumkan: "Apabila ia bersikukuh dengan tantangannya itu bahwa yang berdusta akan mati di hadapan yang benar, maka pastilah ia yang akan mati lebih dulu."(I'jaz Ahmadi hal.36).[5]
     Ketika ternyata Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as. telah menerima tantangannya untuk bermubahalah, Maulvi Sanaullah dicekam rasa takut dan mulailah mencari-cari dalih. Tulisnya:
"Saya bukanlah mendakwakan diri seperti tuan, bahwa saya seorang nabi, atau seorang rasul, atau seorang putra Tuhan, ataupun seorang penerima wahyu. Oleh karena itu tidak mungkin saya berani mengikuti kontes seperti itu. Tuan bermaksud bahwa bila saya mati sebelum tuan, maka tuan akan memproklamirkan hal itu sebagai bukti dari kebenaran tuan, dan bila tuan meninggal sebelum saya (syukur-syukur demikian), maka siapa yang akan pergi ke kuburan tuan untuk menagih tanggung jawab tuan? Itulah sebabnya tuan mengajukan usul yang dungu seperti itu. Akan tetapi saya menyesal saya tidak berani turut serta dalam pertarungan seperti itu, dan ketiadaan keberanian ini bagi saya merupakan suatu sumber kehormatan dan bukannya sumber kehinaan."(Ilhamat Mirza hal.116).[6]
 
     Dari pernyataan di atas tampak sekali Maulvi Sanaullah memperlihatkan dirinya ada rasa takut akan akibat dari melawan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as. Pernyataan Maulvi Sanaullah ini sangat mengagetkan para pengikutnya dan ia pun menjadi bulan-bulanan kritik pedas, yang karenanya ia mulai memunculkan lagi persoalan mubahalah dan mengumumkan:
"Hai para pengikut Mirza, bila kalian memang benar, majulah ke muka dan hadirkanlah pemimpinmu itu. Tempat itu, yakni di Idgah, Amritsar, dimana tempo hari kalian telah mengalami kehinaan dalam adu doa dengan Sufi Abdul Haq Ghaznawi. Oleh karena itu bawalah dia yang telah menentang kami untuk bermubahalah di dalam bukunya Anjaam-eAtham dan ajaklah ia berhadapan dengan saya, sebab selama tidak ada keputusan final dengan sang nabi itu tak akan ada barang suatu pun yang dapat mengikat para pengikutnya." (Ahli Hadis, 29 Maret 1907).[7]
 
     Bisa jadi Maulvi Sanaullah berharap bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as. tidak akan menaruh perhatian pada bualannya yang telah usang itu karena masalah kesehatan dan umurnya yang sudah tua, yaitu 72 tahun. Akan tetapi, tatkala Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as. membaca pengumumannya itu, beliau pun memerintahkan redaksi Majalah Badar untuk membuat pengumuman: "Sebagai sambutan atas tantangannya, saya akan menyampaikan kepada Maulvi Sanaullah Sahib satu kabar baik bahwa Hazrat Mirza Sahib telah menerima tantangannya." (Badar, 5 April 1907).[8]
     Pengumuman ini telah mengagetkan Maulvi Sanaullah, dan karena takutnya ia mengumumkan:
"Saya tidak menantang tuan bermubahalah, saya cuma menyatakan bersedia mengambil sumpah, tetapi tuan menyebutnya mubahalah, padahal suatu mubahalah meng-hendaki agar pihak-pihak mengambil sumpah dalam suatu pertarungan di antara satu dan lainnya. Saya telah menyatakan kesediaan mengambil sumpah dan belum mengajukan tantangan mubahalah. Mengambil sumpah secara sepihak tidak berarti sama dengan mubahalah". (Ahli Hadis, 19 April 1907)[9]
 
     Karena melihat Maulvi Sanaullah tidak bersedia mengambil sikap yang tegas, maka Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as. menerbitkan suatu pengumuman dengan judul: Keputusan Akhir Mengenai Maulvi Sanaullah, dan memungkasinya dengan suatu pernyataan: "Sekarang Maulvi Sanaullah boleh menulis apa saja yang ia sukai sebagai jawabannya. Kalau ia menerima tantangan bermubahalah, hendaknya ia menuliskan kesediaannya itu dengan dibubuhi tanda tangannya".[10]
     Sebagai jawaban terhadap ini, Maulvi Sanaullah menulis sebagai berikut:
"Alquran mengatakan bahwa penjahat itu dianugerahi tenggang waktu oleh Tuhan, misalnya disebutkan: Kami memberi mereka tenggang waktu agar mereka melipat gandakan dosa mereka (19:76). Dan, Bahkan Kami memberikan kehidupan kepada mereka dan bapak-bapak mereka sehingga mereka tetap menikmati kehidupan itu untuk masa yang lama (3:179). Semua ayat ini jelas mengandung makna bahwa Tuhan yang Maha Besar memberikan tenggang waktu serta memberikan umur panjang kepada para pendusta, penipu, perusuh dan para pembangkang, sehingga dalam masa tenggang waktu itu mereka menambah-nambah perbuatan jahat mereka" (Ahli Hadis, 26 April 1907).[11]
 
     Jadi Maulvi Sanaullah tidak hanya menolak tantangan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as. bermubahalah, akan tetapi juga mengajukan suatu prinsip bahwa para pendusta, penipu, pembuat onar dan pembangkang akan diberi umur panjang. Atas dasar ini Allah Yang Maha Besar memberikan umur panjang kepada Maulvi Sanaullah sesuai dengan prinsip yang dikemukakannya dan mewafatkan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as. Dan dengan demikian mengukuhkan bahwa sesuai dengan pernyataannya sendiri, Maulvi Sanaullah adalah seorang pembuat onar, pembangkang, pendusta dan seorang penipu.
     Dalam sejarah Islam tercatat bahwa Musailamah Al-Kadzdzab yang semasa hidupnya mengatakan Hazrat Rasulullah SAW sebagai nabi palsu, juga diberikan umur yang lebih panjang dari Hazrat Rasulullah SAW dan ia diberikan kelonggaran waktu sampai tiba saatnya ia mendapatkan azab atas perbuatannya sendiri, yaitu berkoalisi dengan Banu Hanifah untuk mengadakan pemberontakan dengan kekuatan militer yang bertujuan untuk memusnahkan Jemaat Islam dan sendi-sendi masyarakat Islam yang baru tumbuh berkembang sepeninggal Nabi SAW. Ia dan sekutunya dihancurkan oleh pasukan Islam di bawah komando Hazrat Khalid bin Walid ra. atas perintah Hazrat Abu Bakar Siddiq ra.[12]
     Pada akhirnya dapat kita temukan bagaimana  kehidupan Maulvi Sanaullah sepeninggal Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as. sebagai berikut:
     Surat kabar Al-Ihtesham tanggal 15 Juni 1962 menulis:
"Pada bula Agustus 1947, di Amritsar terjadi suatu peristiwa kiamat kecil. Kematian, kerusuhan yang bagaikan badai menimpa dan melumatkan kediaman Maulana Sanaullah, meskipun ia berhasil menyelamatkan diri dan keluarganya, satu anaknya yang masih muda yaitu Ataullah dengan sadis dibantai di depan matanya dan ketakutan serta dukanya menyayat habis hidupnya."[13]
 
     Selanjutnya kita temukan keterangan yang dibuat oleh Maulvi Abdul Majid Sohdarvi, penulis biografi Maulvi sanaullah, dalam bukunya Sirat-e-Sanai sebagai berikut:
"Segera setelah ia keluar meninggalkan rumahnya, banyak gelandangan dan penjarah menunggu kesempatan untuk menyapu bersih rumahnya dan mereka mengambil semuanya, termasuk perabotan rumah, uang dan perhiasan. Setelah menjarah dan merampok, mereka membakar rumah itu. Dan itu belum selesai, para penjarah kemudian mengambil api dan membakar ribuan koleksi buku-bukunya yang sangat berharga dan langka. Penderitaan yang sangat berat dan hilangnya buku-buku tersebut bagi Maulana sama menderitanya seperti kehilangan anak laki-laki satu-satunya. Beberapa bukunya merupakan buku yang sangat langka sehingga mustahil untuk mendapatkannya kembali."[14]
"Kedukaan yang hebat ini tetap bersama Maulana sampai nafas terakhir dalam hidupnya. Dua peristiwa tragis itu, terbakarnya koleksi buku-bukunya dan kematian anak laki-laki yang semata wayang, terbukti menjadi penyebab kematiannya yang mendadak."(Sirat-e-Sanai, hlm.389-390)[15]
 
     Itulah yang dikatakan Maulvi Abdul Majid dalam buku Sirat-e-Sanai. Hal itu benar-benar merupakan suatu pemaparan yang penuh penderitaan dan pada akhirnya yang tersisa hanya kesedihan dan penyesalan atas takdir yang menimpa hidup Maulana. Namun faktanya, takdir itu adalah sesuai dengan perkataannya sendiri dan takdir itu telah diputuskan oleh-Nya untuk digenapi. Dengan demikian hal tersebut merupakan takdir dan kenyataan sejarah yang sesungguhnya dari peristiwa mubahalah tersebut.
     Dengan keterangan di atas maka terjawablah sudah pertanyaan Abdul Halim, siapa sesungguhnya yang layak berstatus sebagai pembohong dan pembuat kabar palsu? Pertanyaan lagi, Siapa yang bersikap pengecut dalam peristiwa tersebut? Para pembaca tentu akan menilai sendiri dan memberikan jawaban yang sesungguhnya. Bahkan para pembaca pun juga bisa menilai seperti apa pribadi Abdul Halim itu sendiri.
 
kijagat@gmail.com
 


                [1] Mahally, Abdul Halim, LLB(Hons), MA. "Benarkah Ahmadiyah Sesat?", Jakarta: Cahaya Kirana Rajasa, 2006, Cet. Kedua, h.12
                [2] B.A. Rafiq, "Satu Ulasan" Majalah Sinar Islam, 1 Pebruari 1984, No.2, h.52
                [3] Mirza Ghulam Ahmad, Ruuhani Khazain, (London: Additional Nazir Ishaat, 1984), Vol.11, h.45-72
                [4] B. A. Rafiq, loc.cit., h.52
                [5] Ibid., h.54
                [6] Ibid.
                [7] Ibid., h.55
                [8] Ibid.
                [9] Ibid.
                [10] Ibid., h.56
                [11] Ibid.
                [12]  M.A. Suryawan, op.cit., h.202
                [13] Lihat Review of religion, Februari, 1997, Vol.92, No.2, hlm,36. www.alislam.org. Lihat juga Bukan Sekedar Hitam Putih, M.A. Suryawan, 2005, cet.I, h.202
                [14] Ibid.
                [15] Ibid., h.203


Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Wallahu 'alam bishawab...