Nabi Paling Mulia

Selasa, 29 Januari 2008

 

MENURUT ILMU MANTIQ DAN FIQH LUGHAH

NABI MUHAMMAD SAW NABI PALING MULIA ATAU PALING BAIK

Oleh Ki Waras Jagat Pakuan

 

Apakah Ilmu Mantiq Itu?

          Ilmu mantiq adalah ilmu tentang kaidah-kaidah yang dapat membimbing manusia ke arah berfikir secara benar, yang menghasilkan kesimpulan yang benar sehingga ia terhindar dari berfikir secara keliru dan menghasilkan kesimpulan salah. Adapun kata mantiq itu sendiri adalah bahasa Arab yang merupakan terjemahan dari kata logika, suatu hasil yang sangat besar dan gemilang dari Aristoteles (384-322 SM), seorang filisof dan pemikir ulung bangsa Yunani.

          Yunani, adalah asal ilmu mantiq karena banyak penduduknya yang mendapat karunia otak cerdas. Negeri Yunani, terutama Athena, diakui menjadi sumber berbagai ilmu. Socrates, Plato, Aristoteles, dan banyak yang lainnya adalah tokoh-tokoh ilmiyah kelas super dunia yang sangat termasyhur.

 

          Sayang seribu sayang, Konsili Nicae (325 M), dengan alasan bahwa logika atau mantik ini membahayakan keyakinan agama Kristen, menyatakan menutup pusat-pusat pelajaran filsafat Grik di Athena, Antiokia dan Roma. Pelajaran logika dilarang, kecuali bab-bab tertentu saja yang dipandang tidak merusak akidah Kristiani atau yang bertentangan dengan Al-Kitab. Sejak masa itu sampai hampir seribu tahun lamanya, alam pemikiran barat menjadi padam sehingga dikenal dengan zaman The Dark Ages (zaman gelap).

 

          Diantara ulama dan cendekiawan Muslim yang mendalami, menterjemah dan mengarang di bidang Ilmu Mantiq adalah Abdullah Ibn Al-Muqaffa', Ya'qub Ibn Ishaq Al-Kindi, Abu Nashr Al-Farabi, Ibnu Sina[1], Ibnu Hamid Al-Ghazali, Ibnu Rusyid dan banyak lagi yang lainnya.

 

Istidlal Istiqra'i

          Istidlal Istiqra'i adalah penarikan kesimpulan secara induktif, yang dimulai dengan percobaan-percobaan kecil untuk menemukan kesimpulan-kesimpulan kecil yang diharapkan, setelah bercobaan-percobaan berikutnya, akan bermuara kepada penemuan kesimpulan yang sifatnya umum (general). Besi, misalnya, melalui percobaan-percobaan memanaskannya, ternyata memuai. Percobaan dilakukan berulang ulang di berbagai tempat dan waktu. Hasilnya terbukti sama, yaitu memuai. Kesimpulan umum lantas ditarik bahwa besi, jika dipanaskan memui.[2]

          Mengenai derajat dan kedudukan Yang Mulia Rasulullah SAW diantaranya digambarkan dan dinyatakan Al-Qur'an: "Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Dia adalah Rasulullah dan Khātam An-Nabiyyiin, dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu".[3]

            Berdasarkan pendekatan ilmu mantiq dan fiqh lughah (Filologi) kata Khātam yang secara lughat mempunyai makna musytarak diantaranya; cincin, cap, dan dan akhir yang di-idhafat-kan (disandarkan) kepada kata jama' misalnya Al-Nabiyyiin maka tidak ada arti lain selain arti afdhalu (yang paling mulia atau yang paling bagus) atau kata yang semakna dengan itu. Dengan demikian arti yang sangat tepat untuk kata Khātam An-Nabiyyiin adalah Nabi yang paling utama atau paling baik di antara para Nabi dan Rasul yang diutus Allah SWT.

          Berikut adalah hasil penelitian secara istiqra'i  mengenai kata Khātam yang disandarkan kepada kata jama', baik jama mudzakar salim maupun jama' taksir :

  • Sayyyidina Ali dijuluki Khātamul Auliya [4] 
  • Plato dijuluki Khātamul Hukama[5]
  • Syamsuddin dijuluki  Khātamul  Huffadz[6]
  • Rasyid Ridha dijuluki  Khātamul  Mufassirin[7]
  • Abu Tammam dijuluki  Khātamsl  Syu'ara[8]
  • Imam Jalaluddin As-Suyuti dijuluki  Khātamul  Muhaqqiqin[9]
  • Muhammad Abduh dijuluki Khātamul  Aimmah[10]
  • Manusia disebut  Khātamul Makhlūqāt Jasmānyian[11]
  • Syaikh Waliullah Dehlawi dijuluki  Khātamul Muhadditsin[12]
  • Abu Hasan Kabus bin Abi Thahir dijuluki  Khātamul Muluk
  • Syaikhul Akbar Ibnu Arabi dijuluki Khātamul Auliya[13]

Walhasil, apabila kita memahami kata Khātam dengan pengertian terakhir atau penutup dalam konteks seperti ungkapan kalimat-kalimat di atas tidak dengan makna yang paling utama, paling mulia, terbaik, paling sempurna, ataupun yang sepadan dengan itu, maka akan ada konsekuensi logis bahwa setelah Rasulullah SAW tidak akan turun Isa Ibnu Maryam (Al-Masih Al-Mau'ud), padahal kedatangannya dijanjikan dan dinyatakan oleh Rasulullah SAW sendiri secara mutawatir. Demikian juga dengan Sayyyidina Ali dijuluki Khātamul auliya dengan otomatis akan menafikan adanya para wali setelah beliau, termasuk Dewan Wali Songo di Jawa. Demikian juga Rasyid Ridho yang dijuluki  Khātamul  Mufassirin, apakah mungkin berarti bahwa Dr.Wahbah Al-Zuhaili, Muhammad Ali Ash-Shabuni, Mushfafa Al-Maraghi, Hussain Thabathaba'i, Prof.Dr. Hamka, Prof Dr. Hasybi Ash-Shidiqi, Prof. Muhammad Yunus, A Hassan Persis, Dr. Quraisy Syihab dan lain-lain itu "bukan ahli tafsir" atau "ahli tafsir palsu"? Karena ahli tafsir  sudah ditutup oleh Rasyid Ridha.

          Adapun sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan: Lā Nabiyya Ba'di (Tidak ada lagi nabi sesudahku) dan matan-matan lain yang semakna dengan hadits ini, kita tidak menyangsikan lagi keshahihannya. Hadits-hadits tersebut diriwayatkan oleh para perawi masyhur yaitu : Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad, Imam Malik, Imam Tirmidzi, Ibnu Hiban dan Ibnu Majah. Kita dapat menelaahnya melalui shihah sittah. Hadits Lā Nabiyya Ba'di bagi difahami oleh para ulama ahli ilmu adalah: "Tidak ada lagi nabi setelahku yang datang untuk menghapuskan syari'atku". Arti semacam ini sebenarnya adalah arti yang diambil oleh Imam Jalaluddin As-Suyuthi[14], Syaikhul Akbar Ibnu Arabi[15], Syaikh Ar-Rabbaniy Abdul Wahhab Sya'rani[16] dan ulama-ulama lain dari kalangan Sufi.

          Mungkin pula Yang Mulia Rasulullah SAW menyatakan: Lā Nabiyya Ba'di dalam konteks tauriyah, yakni beliau menggunakan kata itu dengan maksud makna yang jauh yakni: Lā Nabiyya ba'diy fii at-tasyri'. (Tidak ada lagi nabi setelahku yang membawa syari'at) dan bukan berarti tidak ada lagi nabi beliau dengan pengertian makna dekat, yakni tidak ada lagi nabi apapun setelah setelah beliau. Karena Rasulullah SAW tidak mungkin menghianati janji-janjinya, termasuk tentang kedatangan Isa as pada akhir zaman.

          "Ya Allah, bukakanlah mata, hati, dan telinga orang-orang MUI dan Kelompok fundamentalis Islam yang sering menganggap penafsiran mereka paling benar, agar mereka tidak menyebabkan umat berbuat anarkis, sadis, dan pesimis yang akhirnya akan merusak citra agama-Mu. Ya Allah, tunjukilah mereka jalan yang lurus".Amin

         



[1]  Selain sebagai seorang Filosof, Ibnu Sina (Avicenna) juga adalah seorang Tabib (Dokter) yang sangat termashur, dalam buku beliau Al-Qanun fii Ath-Thib, beliau memuat nama Marham Isa, obat salep yang pernah digunakan murid-murid Nabi Isa untuk mengobati luka-luka bekas usaha penyaliban yang gagal, sebelum Nabi Isa melakukan perjalanan (hijrah) ke Iran, Afganistan dan Kasymir India. Beliau akhirnya wafat sebagaimana para nabi yang lain dan dikuburkan di Srinagar Kasymir pada umur 120 tahun sebagaimana disabdakan Nabi Saw.

[2] H. Baihaqi A.K., Prof.Dr, Ilmu Mantik, Darul Ulum Press, 2002, hal 113. Lihat: Muhammad Al-Mubarak, Fiqhu Al-Lughah wa Khashāisul 'Arabiyyah, Darul Fikr, tt, hal 30.

[3]  Q.S. Al-Ahzab:40.

[4] Dalam Tafsir Ash-Shāfi

[5] Dalam kitab Mir'atu al-suruh

[6] Dalam kitab Al-Tajridu al-Shariih

[7] Dalam kitab Al-Jami' Al-Islam

[8] Dalam kitab Wafiatul 'Ayan

[9] Dalam kitab Al-Itqan fii 'ulūm Al-Qur'an

[10] Dalam Tafsir Sūrat Al-Fātihah

[11] Dalam Al-Tafsir Al-Kabir

[12] Dalam kata Ujala Nafi

[13] Dalam Al-Futuh Al-Makiyyah

[14] Dalam buku beliau, Nuzūlul Masih fii Akhiriz-Zaman.

[15] Dalam buku beliau, Al-Futuhatul Makiyyah.

[16] Dalam buku beliau, Al-Yawāqit Wal Jawāhir.

0 komentar: