Ki Waras Jagat Pakuan:MEMBONGKAR KEBOHONGAN DAN SHOFISME AMIN DJAMALUDDIN

Rabu, 12 Maret 2008

 


Republika, salah satu surat kabar nasional yang kerap memuat berita-berita anti Ahmadiyah, pada tanggal 11 Maret, halaman 5, dibawah judul FUI Temui Komnas HAM, diantaranya menulis (italic dari penulis): Sementara itu, Amin Djamaluddin meminta agar Komnas HAM bisa membedakan kebebasan beragama dan mana yang merupakan kebebasan merusak agama.”Ahmadiyah telah merusak agama,” tegas Amin.

Bagi penulis, sosok Amin Djamaluddin lebih dikenal sebagai seorang shofis atau safsathi (yang pandai memutar balikkan fakta) tidak asing lagi dalam hal berbohong (berdusta) tentang Ahmadiyah. Dia tidak segan-segan memfitnah dan ’menyerang’ Ahmadiyah dengan mengatas namakan ”pemberantasan aliran sesat”, ”membelaan aqidah” dan lain-lain. Padahal cara-cara semacam itu bagi seorang muslim yang mengerti ajaran Islam secara kaffah (menyeluruh), segi tauhid, fiqih, akhlak maupun tashawwuf-nya akan merupakan satu bentuk pengrusakkan nilai-nilai agama dan pembunuhan karakter muslim.

Kebohongan-demi kebohongan semakin nampak dan menyebar melalui gerakan shofisme Amin Djamaluddin dan kawan-kawan, kenyataan itu sungguh sangat menggelikan, kenapa tidak! Sebagai seorang Ahmadi atau orang dalam Ahmadiyah sangat tahu persis bahwa apa yang dituduhkan Amin Djamaluddin adalah bentuk kebohongan, fitnah dan pemutar balikkan fakta belaka. Dalam istilah ilmu mantiq, ilmu yang Amin Djamaluddin kemukakan untuk menyerang Ahmadiyah dinamakan ’ilmuzh-zhanni ghairu muthābiq lilwāqi’ (ilmu praduga yang tidak sesuai dengan fakta dan kenyataan). Dalam hal ini, orang-orang Ahmadiyah sangat memahami bahwa serangan-serangan semacam itu tidak akan dapat merubah keyakinan dan aqidah mereka. Apalagi harus tertipu oleh gerakan-gerakan shofisme Amin Djamaluddin maupun kelompok-kelompok pendukungnya.

Yang sangat mengkhawatirkan kita adalah bahwa Amin Djamaluddin terus-menerus mendustai kaum Muslimin, dengan fitnah-fitnah dan kebohongan-kebohongannya yang secara efektif dapat menimbulkan rasa permusuhan antar sesama muslim dan dapat mengadu domba umat Islam, bahkan Bangsa Indonesia. Kenapa tidak! Amin Djamaluddin dan kawan-kawan sampai-sampai berani menyatakan bahwa Ahmadiyah telah menodai atau merusak agama, padahal yang dilakukan Ahmadiyah tiada lain melainkan pemuliaan dan pembaharuan agama, sesuai dengan perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, Muhammad Mushthafa SAW.

Tuduhan Shofisme ”Merusak Agama” Amin Djamaluddin

Amin Djamaluddin telah menuduh bahwa Ahmadiyah telah merusak agama, padahal kenyataan yang sebenarnya adalah bahwa Ahmadiyah telah memuliakan agama dengan mengadakan tajdīd (pembaharuan) pemikiran atas berbagai pemahaman yang keliru tentang aqidah Islam di akhir zaman ini dan tasyyīd (pengokohan) syari’at Islam. Salah satu keyakinan pokok Ahmadiyah adalah bahwa Imam Mahdi AS. mempunyai tugas: yuhyiddīna wa yuqīmusy-syari’ah (mengadakan pembaharuan dalam agama dan mengokohkan/menegakkan syari’ah).

Ahmadiyah telah mengadakan pembaharuan pemikiran dan etika berda’wah dalam agama Islam dan mengokohkan/menegakkan syari’ah secara damai, toleran, santun dan tidak melanggar HAM. Kesemuanya itu dilakukan dalam rangka menggenapi dan menetapi ajaran Al-Qur’an dalam Surah Al-Fath ayat 28 dan Ash-Shaff ayat 9 yang menyatakan: ”Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. dan cukuplah Allah sebagai saksi.” dan ”Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci.”

Perbedaan Antara Amin Djamaluddin dan Ahmadiyah dalam Memahami Islam dan Sumber Pokok Ajarannya.

Amin Djamaluddin sangat cenderung memahamin ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits secara tekstual dan fiqhiyyah (doktrinal), suatu cara yang menjadi ciri khas kaum Wahabiyah (al-Muwahhidun) dan Khawarij (al-Muhakkimun), mereka berfikiran sangat kerdil dan tanpa memperhatikan asfek tashawwuf sama sekali. Dengan demikian Islam yang ia kemukakan adalah Islam versi Wahabi dan Khawarij yang sangat radikal serta menampakkan wajah Islam yang sangat mengerikan. Amin Djamaluddin memang seorang penulis dan aktifis Wahabi Indonesia yang terkenal anti Ahmadiyah, sufisme dan kelompok-kelompok Islam yang lain. Sejarah mencatat bahwa dalam ’menyerang’ lawan, biasanya kaum Wahabi sangat melampaui batas, tanpa sopan santun, penuh caci maki, penghinaan dan kalau perlu dengan jalan pengrusakkan dan kekerasan.

Ahmadiyah dalam memahami ajaran Islam dan sumber pokok ajarannya bersifat kaffah (menyeluruh), tekstual dan sekaligus kontestual. Artinya Islam oleh Ahmadiyah difahami secara utuh baik asfek aqidah, fiqih, akhlak, maupun tashawuf-nya. Dengan demikian, Islam yang dikemukakan Ahmadiyah adalah Islam yang Rahmatan lil’alamin, Islam yang Indah dan mempesona, Islam yang sudah menetapi sistem khilafah, dan Islam yang moderat. Karena Ahmadiyah bukan organisasi politik dan anti kekerasan, Ahmadiyah sering menjadi korban pengrusakkan dan kekerasan atas nama agama oleh kelompok-kelompok radikal. Walaupun demikian, sebagai jema’at yang didirikan atas perintah Allah, jema’at ini akan terus maju dan berkembang dalam perlindungan-Nya di segenap antero dunia.

Contoh-contoh Kasus Pemahaman yang Berbeda Antara Amin Djamaluddin dan Ahmadiyah.

1. Amin Djamaluddin dkk. memahami ayat Khātaman nabiyyīn secara varsial dan tekstual, mereka sangat ngotot dengan satu pengertian saja, yakni bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah nabi penutup dan tidak akan ada lagi nabi yang datang ke dunia ini. Hal ini bertentangan dengan hakikat kata khātam itu sendiri yang memiliki arti yang plural seperti; cincin, cap, dan stempel. Selain itu berbeda dengan pemahaman ulama-ulama mutaqaddimin dari kalangan aulia dan para shufiyyin yang memahami ayat itu secara integral, kontekstual, isyari ilahiyyah, dan rasional. Mereka memahami ayat Khātaman nabiyyīn dengan pengertian bahwa Nabi Muhammad SAW. sebagai Nabi Paling Mulia dan Sempurna karena kesempurnaan pribadi dan ajaran yang dibawanya, jika harus diartikan penutup maka ayat ini hanya memberi pengertian penutup kenabian tasyri’ (kenabian yang membawa syari’at baru) saja, sedangkan kenabian ghair tasyri’ (kenabian yang tidak membawa syari’at baru) seperti nubuwwat al-wilāyah tetap terbuka.

Pendapat dan hasil ijtihad para ulama khawas dan Ahmadiyah di atas tidak bisa digugurkan dengan adanya pendapat yang berlawanan dengannya karena ada qaidah ushul yang menyatakan :al-ijtihādu lā yūzalu bil ijtihādi. Secara ilmiah, penafsiran dan hasil ijtihad yang telah dibangun di atas hujjah-hujjah naqliyyah dan aqliyyah adalah syah dan dibenarkan oleh Islam, bahkan dalam istilah fiqh al-lughah dan mantiq hal ini sudah termasuk kepada kriteri istiqra’i. [1]

2. Amin Djamaluddin dkk. memahami hadits Lā nabiyya ba’dī secara vartial dan tekstual juga, mereka terhenti pada pengertian tunggal yakni ”tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad SAW.” Lebih dari itu, menurut mereka orang yang memahami lain selain pengertian seperti itu kafir dan murtad. Pemahaman ini sebenarnya bisa menimbulkan dampak negatif dan zhalimi yang dapat menodai agama, karena tidak ada satu ayat pun dari Al-Qur’an maupun Hadits yang menyatakan demikian, bahkan Rasulullah SAW. sendiri sangat mengkhawatirkan hal itu terjadi, terbukti dengan sabda beliau yang menggunakan harf takyif berikut: Kaifa antum idzā nazala ’Isabnu Maryam fīkum wa imāmukum minkum” (Bagaimana sikap kalian apabila Isa ibn Maryam turun pada kalian sedang ia menjadi imam kalian dan berasal dari kalian).[2]

Ahmadiyah dan ulama-ulama mutaqaddimin memandang bahwa dalil Lā nabiyya ba’dī adalah dalil ’am (umum) yang tidak boleh diamalkan sebalum ditakhsis sebagaimana kaidah ushul menyatakan demikian. Kenapa harus ditakhsis? Karena Rasulullah SAW. dalam hadits mutawatir ma’nawi sudah menyatakan akan adanya lagi Nabi yang datang ke dunia ini dengan sebutan Isa Ibnu Maryam. Jadi hadits ini memberikan pengertian khusus bahwa nabi yang tidak mungkin ada setelah Rasulullah SAW. adalah nabi pembawa syari’at yang membatalkan syari’at Islam. Sebagaimana Imam Jalaluddin As-Suyuthi berkata: Orang yang berprasangka itu berkata, ”Dalilnya adalah hadits, ’Tidak ada nabi setelahku’”. Kami mengatakan: Kasihan sekali engkau, tidak ada dalil pada hadits ini dari sisi mana pun, karena yang dimaksudkan oleh hadits ini adalah: tidak muncul setelahku seorang nabi dengan syariat yang menghapus syari’atku, sebagaimana yang ditafsirkan oleh para ulama.”[3]

Demikianlah jawaban singkat II saya mengenai jawaban atas berbagai tuduhan dan kebohongan Amin Djamaluddin, semoga bermanfaat bagi kaum Muslimin, para pencari kebenaran, orang yang mempunyai hati yang bersih, dan bagi para pencinta keadilan. Jawaban pertama (sebelum ini) dengan judul :Menjawab Kebohongan Amin Jamaludin Tentang Ahmadiyah telah saya muat dalam: kiwaras.blogspot.com (Gapura Cinta Pakuan). Alhamdulillahi rabbil ’alamin.



[1] Istidlal Istiqra’i adalah penarikan kesimpulan secara induktif, yang dimulai dengan percobaan-percobaan kecil untuk menemukan kesimpulan-kesimpulan kecil yang diharapkan, setelah percobaan-percobaan berikutnya, akan bermuara kepada penemuan kesimpulan yang sifatnya umum (general). Kata Khātam jika diidhafatkan dengan jama taksir atau jama mudzakkar salim maka tidak ada makna lain melainkan makna “paling”, misalnya,paling mulia, paling sempurna dan lain-lain.

[2] Hadits Shahih Riwayat Bukhari, Muslim dan Ahmad.

[3] Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Turunnya Isa bin Maryam Di Akhir Zaman, terjemahan Abdurrahim Ahmad,Najla Press, Jakarta, 2008, hal 90-91.

4 komentar:

Sunda Kelana mengatakan...

Khataman Nabiyin sudh saya ambil jazakumullah.

Rijalul Ghaib mengatakan...

Uraian bagus yang penuh fakta. Aneh memang sebagian orang, sumber aslinya sudah menjelaskan dengan sejelas-jelasnya tentang keyakinannya sendiri, lha, kok malah orang lain yang mau menentukan kepercayaannya. Kayak Amin itu, memaksa pihak Ahmadiyah menerima akidah-akidah yang mereka sendiri tidak akui dan tidak ada dalam ajaran Ahmadiyah. Yah, semoga saja Ustad Amin segera sadar akan kekeliruannya.

morning fresh mengatakan...

Ki Waras, maju terus! pembela kebenaran memang banyak musuh. sekali berarti sesudah itu mati.

Yudi mengatakan...

Saya heran ama Amin ini, dia produksi buku yang isinya menuduh ajaran2 lain sesat. apa niatnya jualan ya, mungkin jika ada seribu aliran dalam Islam, dia akan buat pula seribu buku yang menuduh sesat. bukankan Tuhan telah berfirman, janganlah kamu mengatakan orang lain sesat, karena belum tentu kamu lebih baik dari mereka.
dan secara logika, Tuhan menyuruh kita beribadah, tentu Tuhan pula yang menilai, bukan amin, ulama, MUI atau siapapun