Oleh: Ki Waras Jagat Pakuan
I. "KHÃTAMAN NABIYYîN" MENURUT ULAMA DAN PARA WALI ALLAH
Teks Ayat "Khātam An-Nabiyyīn"
Mengenai kesempurnaan Syari'at Islam, derajat dan kedudukan Rasulullah SAW. Allah Ta'ala telah menegaskan:
"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Dia adalah Rasulullah dan Khātam An-Nabiyyīn (Nabi yang paling sempurna) , dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu".[1]
Asbābun Nuzūl (Latar Belakang Historis) Ayat "Khātam An-Nabiyyīn"
Dalam suatu riwayat dikemukakan, ketika Rasulullah SAW. kawin dengan Zainab, banyak orang ribut memperbincangkannya:"Muhammad kawin dengan bekas istri anaknya". Maka turunlah ayat ini (Q.S. 33 al-Ahzāb:40) yang menegaskan bahwa Zaid itu bukan putra Rasulullah. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi yang bersumber dari 'Aisyah.[2]
Selain dari itu, di Makkah pada waktu semua putra Rasulullah SAW. wafat di waktu masih kanan-kanak, musuh beliau mengejek beliau seorang abtar (yang tidak punya anak laki-laki sebagai generasi penerus) dan tidak mempunyai ahli waris lelaki untuk menggantikan beliau, oleh karena itu menurut orang-orang kafir Quraiys cepat atau lambat Jemaat (Umat Islam) yang beliau SAW. pimpin akan segera berakhir. Sebagai jawaban terhadap ejekan orang-orang kafir, secara tegas dinyatakan dalam Surah al-Kautsar, bahwa yang abtar itu bukan Rasulullah SAW. melainkan musuh-musuh beliau.[3] Sesudah al-Kautsar diturunkan, tentu saja terdapat anggapan di kalangan kaum Muslimin di masa permulaan bahwa Yang Mulia Rasulullah SAW. akan dianugerahi anak-anak lelaki yang akan hidup hingga dewasa. Ayat 40 Surah al-Ahzab di atas menghilangkan kesalahfapaham itu juga disamping mengemukakan maqam tertinggi kenabian SAW., larangan mengubah nasab seseorang dengan mengubah nama bapak asli anak angkat dengan bapak angkatnya, pewarisan anak angkat dan kebolehan menikahi janda anak angkat.
Makna "Khātam An-Nabiyyīn" Menurut Ulama Salafush-shalih dan Para Wali Allah
1. Imam al-Rabbanī al-Quthb Abdul Wahhab asy-Syafi'i asy-Sya'rani rh. (898 – 983 H.), beliau seorang ulama dan sekaligus Wali Allah Ta'ala yang mendalami fan-fan dari ilmu Tafsir, Hadits, Ushul Fiqh, Tashawwuf, bahasa/sastera Arab, Akhlaq, Kedokteran dan Kimia. Nasab beliau berasal dari keluarga 'Alawiyyah Hasyimiyyah, salah seorang kakek beliau adalah Muhammad bin al-Hanafiyyah bin Ali bin Abi Thalib ra. Menurut Barckelmann, seorang orientalis menyebutkan bahwa kitab-kitab karangan Sya'rani ra. mencapai 60 karya tulis yang masih terawat dan diterbitkan oleh penerbit Darul Ilmi Internasional.[4]
Imam al-Rabbani asy-Sya'rani rh. menjelaskan tentang makna Khātam An-Nabiyyiin sebagai berikut:
"Allah telah menyelesaikan segala syari'at dengan syari'at Nabi Muhammad SAW, maka tidak ada lagi seorang Rasul yang membawa syari'at baru sesudah beliau dan tidak pula seorang Nabi pun yang mendapat syari'at baru untuk mengikutinya sendiri, karena manusia perlu mengikuti syari'at Muhammad SAW. sampai hari Qiamat".[5]
2. Syaikh Abdul Karim ibn Ibrahim al-Jili rh (767 - 811 H), beliau adalah seorang sufi terkenal dari Baghdad, beliau lahir di al-Jili, sebuah negeri di kawasan Baghdad dan meninggal dunia di tempat yang sama. Al-Jili rh. adalah murid dari Syaikh Abdul Qadir al-Jailani rh, seorang pendiri dan pemimpin tarekat Qadiriyah dan murid Syaikh Syarafuddin Ismail ibn Ibrahim al-Jabarti rh, seorang tokoh tasawuf terkenal di negeri Zabit Yaman. Dalam dunia tulis menulis al-Jili termasuk seorang sufi yang cukup kreatif, karangannya tentang tasawuf tidak kurang dari 20 buah, yang paling terkenal diantaranya: al-Insān al-Kāmil fī Ma'rifati al- al-Awāil wa al-Awākhir dan al-Kahf wa al-Raqīm.
Syaikh Abdul Karim ibn Ibrahim al-Jili rh. menjelaskan tentang makna Khātam An-Nabiyyiin sebagai berikut:
"Maka terputuslah hukum kenabian tasyri'[pembawa syari'at/hukum baru] setelah beliau, oleh karena itu pula beliau sebagai khātaman nabiyīn, karena beliau telah datang dengan membawa kesempurnaan yang tidak pernah dibawakan oleh seorang rasul manapun."[6]
Sebelum itu Syaikh al-Jili menerangkan tentang ayat "Al-Yauma akmaltu lakum dīnakum..." beliau menyatakan:
"Rasulullah SAW. telah menjadikan agama yang beliau bawa menjadi termasyhur dengan segala kesempurnaanya. Allah Ta'ala berfirman: " ...pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku..."[7]. Ayat ini belum pernah diturunkan Allah Ta'ala kepada nabi selain Nabi Muhammad SAW, dan seandainya ayat ini diturunkan kepada salah seorang nabi sebelum beliau tentu dia akan menjadi khātaman nabiyīn, akan tetapi hal itu tidak sah kecuali kepada Nabi Muhammad SAW. Oleh karena ayat ini telah diturunkan kepada beliau maka jadilah beliau sebagai khātaman nabiyīn (nabi yang paling sempurna)."[8]
3. Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi rh (560 – 638). Beliau seorang wali agung, seorang sufi dan filosof Andalusia (Spanyol). Syaikhul Akbar berhasil menulis 289 buku atau risalah, semua tulisannya berbicara dalam bidang tasawuf. Karya tulisnya yang paling termasyhur adalah kitab al-futūhāt al-Makkiyyah, yang sekarang dicetak dalam empat jilid, merupakan sebuah ensiklopedia besar tentang tasawuf. Salah satu nasihat beliau begini: "Apabila anda membaca al-Qur'an, jadikanlah diri anda berada dalam al-Qur'an, dan bersungguh-sungguhlah dalam mengamalkan isinya, sebagaimana anda bersungguh-sungguh membacanya..."[9].
Syaikh al-Akbar Ibnu Arabi menjelaskan tentang makna Khātam An-Nabiyyiin sebagai berikut:
"Sebagian dari yang diturunkan dalam kenabian itu ialah syari'at baru, maka dengan syari'at Nabi Muhammad SAW. itu Allah telah menghabiskan turunnya syari'at baru, oleh karena itulah Nabi kita menjadi Khātamun-Nabiyyīn".[10]
Ayat "Khātaman Nabiyyīn" Adalah ayat 'Am (bersifat umum) Yang Memerlukan Takhsis (Pengkhususan)
Seandainya ayat khātam an-Nabiyyīn harus dipahami dengan pengertian bahwa Yang Mulia Rasulullah SAW. adalah penghabisan atau penutup para nabi maka ayat ini mau tidak mau harus ditakhsis dengan ayat yang lain agar tidak menimbulkan seolah-olah ada pertentangan dengan ayat-ayat yang lain, seperti ayat 3 Surah al-Jumu'ah yang menerangkan tentang kedatangan "Nabi Muhammad" kedua kali[11], ayat 9 Surah Ash-Shaff[12] yang menerangkan tentang kemenangan Islam II ketika turunnya "Isa Ibnu Maryam" dan juga dengan hadits mutawatir yang diriwayatkan oleh 35 orang shahabat ra. tentang datangnya seorang nabi yang secara isti'arah disebut Isa Ibnu Maryam pada akhir zaman.
Semua ulama sepakat mentakhsis lafal yang umum, karena pada dasarnya semua ayat-ayat al-Qur'an mengandung kebolehan mentakhsiskannya karena ada kaidah yang menyatakan bahwa: "Sesungguhnya pengkhususan lafal-lafal 'am itu diperbolehkan"[13] Pentakhsisan dimaksud mencakup pentakhsisan ayat al-Qur'an dengan ayat al-Qur'an ataupun pentakhsisan ayat al-Qur'an dengan Hadits.
Sebagian ulama merumuskan bahwa hanya 5 ayat yang tidak memerlukan pengkhususan, yaitu:
a. Masalah kesempurnaan dan keagungan Allah SWT., seperti Q.S. al-Baqarah:282.
b. Keharaman menikahi ibu, baik itu karena nasab, karena persusuan, seperti dalam Q.S. an-Nisa:22.
c. Setiap individu pasti mengalami kematian Q.S. Ali Imran:185.
d. Allah selalu menanggung rezeki makhluk hidup Q.S. Hud:6.
e. Allah SWT. yang memiliki apa yang ada di langit dan di bumi Q.S. al-Baqarah:284.
Kelima macam ayat itu tidak perlu dikhususkan karena konteksnya sudah jelas dan tidak mungkin mengalami perubahan.[14]
Lebih dari itu kaidah yang lain menjelaskan bahwa dalil atau lafal yang bersifat 'am (umum) tidak boleh diamalkan sebelum ditakhsis:
"Pelaksanaan dalil 'am (yang bersifat umum) sebelum diteliti kengkhususannya maka tidak diperbolehkan"[15]
Dengan demikian jelaslah apa yang disampaikan oleh para ulama shalafussh-shalih dan aulia (para wali) di atas adanya pengkhususan nubuwwat tasyri' saja yang tertutup sedangkan nubuwat ghair tasyri' atau nubuwwat al-wilayah tidak tertutup. Demikian ini karena Allah dan Rasul-Nya telah berjanji akan datangnya Isa Ibnu Maryam (al-Mahdi al-Muntazhar)[16] di akhir zaman yang akan memenangkan Islam di akhir zaman ini dengan ajaran Islam yang Indah dan menawan.
Kalimat "Khātaman Nabiyyīn" Ditinjau dari segi Fiqh Lughah dan Mantiq
Berdasarkan pendekatan fiqh lughah (Filologi) dan mantiq kata Khātam yang secara lughat mempunyai makna musytarak diantaranya; cincin, cap, dan dan akhir jika di-idhafat-kan (disandarkan) kepada kata jama' misalnya Al-Nabiyyiin maka tidak ada arti lain selain arti afdhalu (yang paling mulia), yang paling bagus atau kata yang semakna dengan itu. Dengan demikian arti yang sangat tepat untuk kata Khātam An-Nabiyyīn adalah Nabi yang paling utama, paling sempurna atau paling baik di antara para Nabi dan Rasul yang diutus Allah SWT.
Menurut Fiqh Lughah dan Mantiq pengambilan kesimpulan seperti di atas disebut Istiqra'. Secara bahasa Istiqra' adalah istikhrāj al-'ām au al-kullī min al-khāsh au al-tafshīlī (mengambil kesimpulan umum atau menyeluruh dari dari bagian atau rincian)[17]. Yakni penarikan kesimpulan secara induktif, yang dimulai dengan percobaan-percobaan kecil untuk menemukan kesimpulan-kesimpulan kecil yang diharapkan, setelah bercobaan-percobaan berikutnya, akan bermuara kepada penemuan kesimpulan yang sifatnya umum (general). Besi, misalnya, melalui percobaan-percobaan memanaskannya, ternyata memuai. Percobaan dilakukan berulang ulang di berbagai tempat dan waktu. Hasilnya terbukti sama, yaitu memuai. Kesimpulan umum lantas ditarik bahwa besi, jika dipanaskan memui.[18] Demikian juga ternyata jika kata Khātam diidhafatkan kepada kata jama' taksir atau mudzakkar salim maka akan selalu mempunyai pengertian "paling" mulia dan sejenisnya.
Berikut adalah hasil penelitian secara istiqra'i mengenai kata Khātam yang disandarkan kepada kata jama', baik jama mudzakar salim maupun jama' taksir : Sayyyidina Ali dijuluki Khātamul Auliya [19] , Plato dijuluki Khātamul Hukama[20] , Syamsuddin dijuluki Khātamul Huffadz[21] ,Rasyid Ridha dijuluki Khātamul Mufassirin[22] , Abu Tammam dijuluki Khātam asy-Syu'ara[23] , Imam Jalaluddin As-Suyuti dijuluki Khātamul Muhaqqiqin[24], Muhammad Abduh dijuluki Khātamul Aimmah[25], Manusia disebut Khātamul Makhlūqāt Jasmānyian[26] , Syaikh Waliullah Dehlawi dijuluki Khātamul Muhadditsin[27] , dan Syaikhul Akbar Ibnu Arabi dijuluki Khātamul Auliya[28]
Walhasil, apabila kita memahami kata Khātam dengan pengertian terakhir atau penutup dalam konteks seperti ungkapan kalimat-kalimat di atas tidak dengan makna yang paling utama, paling mulia, terbaik, paling sempurna, ataupun yang sepadan dengan itu, maka akan ada konsekuensi logis bahwa setelah Rasulullah SAW tidak akan turun Isa Ibnu Maryam (Al-Masih Al-Mau'ud), padahal kedatangannya dijanjikan dan dinyatakan oleh Rasulullah SAW sendiri secara mutawatir. Demikian juga dengan Sayyyidina Ali dijuluki Khātamul auliya dengan otomatis akan menafikan adanya para wali setelah beliau, termasuk Dewan Wali Songo di Jawa. Demikian juga Rasyid Ridha yang dijuluki Khātamul Mufassirin, apakah mungkin bahwa Dr.Wahbah Al-Zuhaili, Muhammad Ali Ash-Shabuni, Mushfafa Al-Maraghi, Hussain Thabathaba'i, Prof.Dr. Hamka, Prof Dr. Hasybi Ash-Shidiqi, Prof. Muhammad Yunus, A Hassan Persis, Dr. Quraisy Syihab dan lain-lain itu "bukan ahli tafsir" atau "ahli tafsir palsu"? Karena ahli tafsir sudah ditutup oleh Rasyid Ridha?
II. "LÃ NABIYYA BA'DÎ" MENURUT PENDAPAT ULAMA PARA WALI ALLAH
Teks (Matan) Hadits Lā Nabiyya Ba'dī
"Ketika peperangan Tabuk, Rasulullah saw. mengangkat Sayyidina Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya (di Madinah). Kemudian Sayyidina Ali berkata: 'Wahai Rasulullah, Tuan meninggalkan saya hanya untuk menjaga anak-anak dan wanita-wanita'?. Maka Nabi Muhammad saw. menjawab: "Tidakkah engkau suka kedudukanmu di sampingku seperti Harun di samping Musa? Hanya saja, tidak ada nabi sesudahku."[29]
Dalam Shahih Bukhari matan hadits di atas sedikit berbeda redaksi walaupun dalam topik yang sama yaitu Perang Tabuk, yakni pada kata khollafa=mengangkat sebagai penggantinya, dalam Shahih Muslim menjadi istakhlafa dalam Shahih Bukhari dalam arti yang sama, tukhollifunī=Tuan meninggalkan saya?, dalam Shahih Muslim dengan atukhollifunī dalam Shahih Bukhari dalam arti "apakah Tuan meninggalkan saya?", dan pada kata ghoiro annahu lā nabiyya ba'dī= Hanya saja, tidak ada nabi sesudahku, dalam Shahih Muslim dengan illā annahu laisa nabiyyun ba'dī dalam Shahih Bukhari dengan arti yang sama.[30]
Hadits di atas tergolong hadits mutawatir dimana telah diriwayatkan oleh 12 orang shahabat ra. seperti dari Sa'ad bin Abi Waqqas ra. oleh Imam Muslim, Nasa'i , Tirmidzi, Ahmad, dan ath-Thayalis. Dari Abu Hurairah ra. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad. Dari Jabir bin Abdullah ra. yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad . Dari Abu Sa'id al-Khudri ra. yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Dari Asma binti Umais yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Dari Ummu Salamah ra. yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Thabrani dan Abu Ya'la. Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra. yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Dari Anas bin Malik ra. yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Tirmidzi dan Hakim. Dari Ummu Karz al-Ka'biyah ra. yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, ad-Darimi, Ibnu Majah, al-Humaid. Dari Ummul Muminin Aisyah ra. yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Dari Abu Thufail ra. yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Dari Abdullah bin Abbas ra. yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa'i, ad-Darimi, Ibnu Majah dan Imam Ahmad.[31]
Asbābul Wurūd (Latar Belakang Historis) Hadits Lā Nabiyya Ba'dī
Hadits ini mengisahkan ketika Yang Mulia Nabi SAW. hendak pergi ke peperangan Tabuk pada tahun 9 H, ketika itu beliau meninggalkan Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah sebagai pengganti beliau di Madinah untuk menjaga ahli famili Nabi SAW. Sebagai seorang sahabat dan pahlawan Islam yang bergelar asadullah (singa Allah), Sayyidina Ali merasa agak heran kenapa ia tidak diberangkatkan ke medan perang Tabuk seraya berkata: 'Wahai Rasulullah, Tuan meninggalkan saya hanya untuk menjaga anak-anak dan wanita-wanita'?. Maka Nabi Muhammad saw. menjawab: "Tidakkah engkau suka kedudukanmu di sampingku seperti Harun di samping Musa? Hanya saja, tidak ada nabi sesudahku." [32]
Kaidah Ushul Tentang Takhsis Hadits Lā Nabiyya Ba'dī.
Hadits "Lā Nabiyya Ba'dī" (Tidak ada nabi setelahku) atau "Laisa nabiyyun ba'dī" (Tidak ada lagi nabi setelahku) adalah dalil 'am (umum) yang menghendaki adanya takhshis (penghususan) sebagaimana kaidah ushul membolehkan adanya takhsis as-Sunnah dengan as-Sunnah (takhshīs as-Sunnah bi as-Sunnah)[33].
Ternyata hadits mutawatir tentang tidak ada nabi setelah Rasulullah SAW. telah ditakhsis oleh hadits mutawatir juga, yakni hadits-hadits tentang akan datangnya lagi nabi setelah Rasulullah SAW. dengan bergelar Isa Ibnu Maryam atau al-Masih al-Mau'ud (al-Masih yang dijanjikan kedatangannya oleh Rasulullah SAW.). Hal ini telah dipahami oleh Para Shahabat Nabi SAW. Imam Jalaluddin as-Suyuthi meriwayatkan dalam Tafsir Ad-Durul-Mantsur, Juz V, hal. 204 bahwa pada satu hari seorang telah berkata di hadapan Mughirah bin Syu'bah ra, orang itu berkata: "Mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepada Muhammad Khataman-Nabiyyin yang tidak ada Nabi lagi sesudahnya." Mendengar perkataan orang itu Hadhrat Mughirah bin Syu'bah berkata kepadanya: "Cukuplah engkau berkata bahwa Nabi Muhammad itu Khatamun-Nabiyyin, karena kami sedang menerangkan Hadis Nabi SAW. bahwa Isa akan keluar. Jadi, jika dia (Isa Ibnu Maryam) keluar maka sudah tentu ada lagi nabi sebelum dan sesudahnya Nabi SAW."
Adapun hadits mutawatir tentang datangnya nabi yang bergelar Isa Ibnu Maryam tersebut telah diriwayatkan oleh tidak kurang dari 35 shahabat ra. seperti dari Sa'id bin al-Musayyab ra. oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam sahih mereka. Dari Abu Hurairah ra. oleh Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, al-Haitsami, Ibnu Majah, al-Bazzar, dan Ibnu Asakir. Dari Nawas bin Sam'an ra. diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Imam Ahmad, dan Hakim. Dari Abdullah bin Amr ra. diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Ahmad dan Hakim. Dari Tsaubah ra. diriwayatkan oleh Nasa'i dan Ahmad. Dari Mujammi' bin Jariyah al-Anshari ra. diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Imam Ahmad. Dari Abu Umamah al-Bahili ra. diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah dan Hakim. Dari Abdullah bin Mas'ud ra. diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Imam Ahmad dan Hakim. Dari Utsman bin Abu al-Ash ra. diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Hakim dan Haitsami. Dari Samurah bin Jundub ra. diriwayatkan oleh Abu Dawud, Imam Ahmad, Nasa'i, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Haitsami. Dari Hudzaifah bin Usaid ra. diriwayatkan oleh Hakim. Dari Abu Thufail al-laits ra. diriwayatkan oleh Hakim. Dari Anas ra. diriwayatkan oleh Hakim. Dari Watsilah bin al-Asqa ra. diriwayatkan oleh Haitsami. Dari Abdullah bin Salam ra. diriwayatkan oleh Tirmidzi. Dari Ibnu Abbas ra. diriwayatkan oleh Nasa'i dan Hakim. Dari Jabir bin Abdullah ra. diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Hakim dan Haitsami. Dari Aus bin Aus ats-tsaqafi ra. diriwayatkan oleh Tabrani dan Haitsami. Dari Imran bin Hushain ra. diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Dari Ummul Mu'min Aisyah ra. diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Haitsami. Dari Abdullah bin Umar ra. diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Imam Ahmad. Dari Sufainah ra. diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Hitsami. Dari Hudzaifah bin al-Yaman ra. diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Hakim dan Ibnu Jarir ath-Thabari. Dari Abdullah bin Mughaffal ra. diriwayatkan oleh Thabrani, Baihaqi dan Haitsami. Dari Abdurrahman bin Samurah ra. diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Hakim. Dari Abdullah bin Thariq ra. diriwayatkan oleh Bukhari, Ibnu Asakir dan Haitsami. Dari Ibnu al-Asy'ats ash-Shan'ani ra. dimuat dalam Kanz Ummal (7/267). Dari Qatadah ra. dikelurkan oleh Imam Suyuthi dalam ad-Dururl Mantsur diriwayatkan oleh a. Dari Ibnu Zaib bin al-Muhajid ra. dikeluarkan oleh Ibnu Jarir Tarikh al-Umam wa al-Muluk (6/14). Dari Abu Malik al-Ghifari ra. dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya. Dari Mujahid bin Jubair al-Makkii ra. dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya. Dari Abu Rafi' Naufai' bin rafi' ra. dikeluarkan oleh Imam Ahmad. Dari Ibnu Zaid ra. dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya dan Imam Suyuthi dalam ad-Durul-nya. Dari Ka'ab al-Akbar ra. diriwayatkan oleh Ibnu Asakir.[34]
Para ulama Ahmadiyah memahami kata Lā pada kata Lā Nabiyya Ba'dī sebagai Lā li al-kamāl (Lā untuk menunjukkan kesempurnaan) seperti halnya dalam hadits: "lā hijrota ba'da fathi Makkata" (Tidak ada hijrah setelah penaklukkan Makkah yang menyamai kesempurnaan hijran nabi SAW. dan para shahabat beliau ra.)[35]. Fakta sejarah membuktikan bahwa setelah fath Makkah ummat Islam masih melakukan hijrah-hijrah lain, seperti yang dilakukan oleh Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, yang menjadi leluhur para wali yang tergabung dalam "Dewan Wali Songo" dan para Habib Indonesia.
Imam Ahmad bin Isa diberi laqab (gelar) Al-Muhajir karena hijrah dari Bashrah setelah kota itu menghadapi serangan umum Khawarij dan pemberontakan orang-orang kulit hitam. Ketika itu ia memutuskan berangkat ke Hijaz dan menetap setahun di Madinah Al-Munawwarah ketika Makkah Menghadapi serangan orang-orang Qaramithah. Kemudian beliau melaksanakan haji dan thawaf mengelilingi ka'bah tanpa ada Hajar Aswad yang ketika itu dibawa ke Hijr sehingga tempat batu itu menjadi kosong. Kemudian Imam Ahmad bin Isa memutuskan hijrah ke Hadhramaut.
Dengan demikian, pengertian Lā Nabiyya Ba'dī yang tepat dan sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Yang Mulia Rasulullah SAW. adalah: "Tidak ada lagi nabi yang akan datang setelahku yang sesempurnaku dan yang akan menghapuskan syari'atku".
Pemahaman Ulama Salafush-Shalih dan Para Wali Allah Tentang Hadits Lā Nabiyya Ba'dī
I. Imam Abdurrahman bin Abu Bakar Jalaluddin as-Suyuthi rh (849 – 911 H.), seorang ahli Tafsir, Hadits, bahasa Arab, Mujaddid abad 9 H. dan Wali Allah Ta'ala yang pengalaman spiritualnya telah memasuki dunia ghaibiyyah Ilahi. Kitab-kitab beliau banyak dijadikan bahan kajian dan rujukan di pesantren-pesantren tradisional dan perguruan tinggi di Indonesia, seperti Tafsir ad-Durul Mantsur fī tafsir al-Ma'tsūr, Tafsir al-Jalalain, al-Itqān fī 'ulūm al-Qur'an, al-Jāmi' al-Shāghir, Jam'ul Jawāmi fī al-'Arabiyyah dan lain-lain dengan jumlah karya tulis sebanyak 415 judul. [36]
Imam Jalaluddin as-Suyuthi memahami hadits Lā Nabiyya Ba'dī sebagai berikut:
Orang yang berprasangka itu berkata, "tapi dalilnya adalah, 'Tidak ada wahyu setelahku'". Kami berkata, "Hadits ini dengan lafazh seperti ini adalah tidak benar". Orang yang berprasangka itu berkata, "Dalilnya adalah hadits, Tidak ada nabi setelahku". Kami mengatakan: Kasihan sekali engkau, tidak ada dalil pada hadits ini dari sisi mana pun, karena yang dimaksudkan oleh hadits ini adalah: tidak muncul setelahku seorang nabi dengan syariat yang menghapus syari'atku, sebagaimana yang ditafsirkan oleh para ulama.[37]
II. Imam al-Rabbanī al-Quthb Abdul Wahhab asy-Syafi'i asy-Sya'rani rh (898 – 983 H.).
Imam Abdul Wahhab asy-Syafi'i asy-Sya'rani rh. memahami hadits Lā Nabiyya Ba'dī sebagai berikut:
"Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam "Lā Nabiyya Ba'dī Walā Rasūla" itu berarti:Tidak ada Nabi dan Rasul yang membawa syari'at baru sesudahku".[38]
III. Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi rh (560 – 638)
Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi menjelaskan hadits Lā Nabiyya Ba'dī sebagai berikut:
"Maksud Hadis "Lā Nabiyya Ba'dī ialah tidak akan ada lagi Rasul dan Nabi yang mengikuti syari'at yang menyalahi syari'atku bahkan apabila ada Nabi nanti dia akan mengikuti hukum syari'atku"[39]
Pemahaman Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as. Tentang Kenabian Setelah Rasulullah SAW.
Dalam tahun 1889 beliau meletakkan dasar-dasar dari Jemaat Ahmadiyah dan mengeluarkan seruan kepada orang-orang yang bertakwa untuk mengikuti perjanjian (bai'at) dan persekutuan keruhanian dengan beliau sebagai Mujadid di dalam Islam dan ummatnya. Seruan beliau disambut oleh beberapa orang yang berbai'at (berjanji setia) akan membantu beliau dan akan taat kepada beliau dalam segala hal yang bersifat keruhanian, akhlak, dan kemanusiaan. Seruan beliau juga menimbulkan penentangan dari antara umat Muslim yang kemudian dengan berjalannya waktu menjadi permusuhan yang getir dimana beberapa kelompok non-Muslim bergabung dengan mereka.
Sesuai petunjuk dan pengangkatan Tuhan, Mirza Ghulam Ahmad as. menyatakan diri sebagai Al-Masih yang Dijanjikan (Masih Maud) dan Imam Mahdi yang kedatangannya telah dinubuatkan oleh Rasulullah SAW. Inti serangan terhadap beliau oleh para ulama Muslim adalah karena beliau mengaku sebagai nabi yang dianggap bertentangan dengan petunjuk Al-Quran yang menyatakan: Muhammad bukanlah bapak salah seorang dari antara kaum laki-lakimu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan Nabi yang paling sempurna (Khātam An-Nabiyyīn) dan Allah itu Maha Mengetahui segala sesuatu.[40]
Menjawab serangan itu, Mirza Ghulam Ahmad as. menjelaskan bahwa beliau sejujurnya dan sepenuh hati meyakini bahwa Rasulullah SAW. adalah Khātam An-Nabiyyīn dalam konotasinya yang paling agung. Beliau meyakini bahwa Rasulullah SAW. dikaruniai Allah s.w.t. dengan segala keluhuran kenabian pada tingkat yang paling utama. Beliau meyakini bahwa dengan kedatangan Rasulullah SAW. maka semua kenabian dari nabi-nabi sebelumnya yang ajarannya saat itu masih berlaku dan mengikat bagi umat mereka telah berakhir dan setelah kedatangan itu yang berlaku hanyalah kenabian Rasulullah SAW. saja.
Status keruhanian dari nabi ummati [41] atau zhillī [42] yang datang setelah Rasulullah SAW. hanya bisa diberikan kepada seorang pengikut beliau yang paling saleh dan takwa serta merupakan cermin yang merefleksikan dan mengambil sinarnya dari nur cahaya Muhammad SAW. Sosok demikian secara keruhanian menjadi satu dengan Rasulullah SAW. dan tidak mempunyai identitas terpisah miliknya sendiri. Mirza Ghulam Ahmad menyatakan dirinya sebagai nabi dalam pengertian demikian itu dan beliau mendakwakan bahwa dengan kedatangannya itu telah terpenuhi nubuatan tentang kedatangan Masih Mau'ud dan Imam Mahdi. Beliau menyangkal dan menganggapnya sebagai hinaan terhadap kewibawaan Rasulullah SAW. sebagai Khātam An-Nabiyyīn adanya kepercayaan yang mengatakan bahwa Nabi Isa (Yesus), Nabi yang oleh Al-Qur'an telah dikhusukan buat Bani Israil akan datang secara haqiqi kembali dari langit untuk menghidupkan kembali Islam.
Mirza Ghulam Ahmad menegaskan bahwa menurut Al-Quran[43], Hadits, fakta sejarah, dan khabar ghaib dari 'Alimul Ghaib bahwa Nabi Isa as. telah wafat secara biasa sebagaimana para nabi yang lain pada umur 120 tahun dan dimakamkan di Rauzabal (kuburan nabi) Srinagar Kasymir. Adapun nubuwwatan (khabar ghaib) Yang Mulia Rasulullah SAW. tentang kedatangan Isa ibnu Maryam di akhir zaman beliau pahami secara isti'arah (majazi), sebagaimana kelaziman-kelaziman yang sering dikemukakan Allah Ta'ala.
Sehubungan dengan Keutamaan Rasulullah SAW. dan syari'at Islam, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as. bersabda:
"Sebagaimana Tuhan kami benar-benar Esa, Dialah satu-satunya Tuhan yang berkah disembah, demikian juga Rasul kami (Muhammad SAW.) adalah satu, yang tidak ada nabi (pembawa syari'at) setelahnya dan tidak pula ada bandingannya karena sungguh beliau adalah Khātaman Nabiyyīn".[44]
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as. bersabda tentang hadits Yang Mulia Rasulullah SAW. yang menyatakan: Lam yabqa minannubuwwati illā al-mubasysyirāt :"Hadis itu menunjukkan bahwa kenabian yang sempurna yang mengandung wahyu syari'at baru itu memang sudah terputus, akan tetapi Kenabian yang tidak mengandung syari'at, melainkan al-mubasy-syirā saja itu tetap ada sampai hari Qiamat, tidak akan putus selama-lamanya".[45]
Dalam masalah ini juga, beliau telah menjelaskan apakah yang dimaksud dengan al-mubasysyirāt itu, sabda beliau: "Mubasysyirat adalah mimpi-mimpi, kasyaf-kasyaf, wahyu yang turun kepada para wali dan nur yang nyata bagi hati orang-orang (para wali) yang disakiti manusia.".
Natijah wa at-Taushiah
Kalau saja kita mau jujur, kita akan dapat melihat bahwa Ahmadiyah dan pendirinya berada di atas jalan kebenaran (al-haqq) dan cahaya (ilmu pengetahuan/makrifat). Tuhan, fenomena alam, fakta-fakta sejarah dan paradaban menjadi saksi akan kebenarannya sehingga lepas tiga abad setelah jemaat ini (Ahmadiyah) didirikan manusia akan mengenal bahwa Islam tidak lain adalah Ahmadiyah dan Ahmadiyah tidak lain adalah Islam.
Oleh karena itu, kepada segenap orang yang senantiasa memusuhi Ahmadiyah maupun pendirinya penulis ingatkan agar segera bertobat, jika tidak penulis khawatir azab Tuhan akan terus datang silih berganti sedangkan do'a-do'a untuk menolak azab itu tidak lagi akan dikabulkan Tuhan. Bukankah Yang Mulia Nabi SAW. telah bersabda :"Barangsiapa memusuhi wali Allah, maka sama halnya dengan menyatakan perang terhadap Allah". Atau bukankah Tuhan telah berfirman: "Allah telah menetapkan bahwa Aku (Allah) dan Rasul-rasul-Ku pasti menang"?
Alhamdulillahi rabbil 'alamīn
[1] Q.S. Al-Ahzab:40.
[2] K.H.Q. Shaleh dan H.A.A. Dahlan, Asbābun Nuzūl, CV Penerbit Diponegoro, Bandung, 2000, halaman 433.
[3] Adalah suatu fakta bahwa para wali yang tergabung dalam "Dewan Wali Songo" dan para habib yang menyebarkan Islam di Indonesia adalah keturunan Yang Mulia Rasulullah SAW. Mereka pada umumnya adalah para wali yang berasal dari keturunan Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa. Beliau diberi laqab (gelar) Al-Muhajir karena hijrah dari Bashrah setelah kota itu menghadapi serangan umum Khawarij dan pemberontakan orang-orang kulit hitam. Ketika itu ia memutuskan berangkat ke Hijaz dan menetap setahun di Madinah Al-Munawwarah ketika Makkah Menghadapi serangan orang-orang Qaramithah. Kemudian beliau melaksanakan haji dan thawaf mengelilingi ka'bah tanpa ada Hajar Aswad, karena ketika itu Hajar Aswad dilarikan ke pangkalan kaum Qaramithah di sebelah timur semenanjung Arabi hingga ke Kufah selama periode 317-339. Kemudian Imam Ahmad bin Isa memutuskan hijrah ke Hadhramaut. Disana ia menghadapi orang-orang Khawarij, sehingga ia dan anak cucunya dapat menghapus mazhab Ibadhiy dan menyebarkan mazhab Syafi'i. Setelah itu salah satu cucunya Muhammad Shohib Marbath menyempurnakan perjalanannya dan menyebarkan mazhab Syafi'i di daerah Zhufar. Para syarif hadhramaut juga hijrah ke Afrika Timur, India, dan Asia Tenggara untuk menyebarkan dakwah Islamiyah dan mengajarkan para penduduknya pokok-pokok ajrab agama yang hanif (lurus) ini. Peristiwa hijrahnya Imam Ahmad bin Isa yang diberi gelar al-Muhajir, ini sekaligus menjadi bukti bahwa setelah Fath Makkah masih ada hijrah. Dengan demikian arti lā hijrota ba'da fathi (Tidak ada hijrah setelah penaklukan Makkah) tidak berarti secara mutlak tidak ada hijrah lagi, akan tetapi bermakna "Tidak ada lagi hijrah yang secara histori dan derajat menyamai Hijrahnya Nabi SAW. dan para shahabt ra." Demikian juga makna "Lā Nabiyya Ba'dī" di antaranya akan mempunyai makna semacam itu.
[4] Lihat, Abdul Wahhab asy-Syafi'i asy-Sya'rani, Tanbihul Mughtarīn, Darul Kutub al-'Ilmiyyah, Beirut, 2003, halaman 3 – 9.
[5] Abdul Wahhab asy-Syafi'i asy-Sya'rani, Al-Yawāqit wa al-Jawahir, al-Haramain, Singapura, t.t. Juz II, hal. 37, bahasan ke-35.
[6] Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili, al-Insān al-Kāmil fī Ma'rifati al- al-Awāil wa al-Awākhir, al-Maktabah al-Taufiqiyyah, 132 – 133.
[7] Al-Maidah [05]:3
[8] al-Insān al-Kāmil fī Ma'rifati al- al-Awāil wa al-Awākhir, 132.
[9] Lihat, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta 1992, halaman 347 – 348.
[10] Syaikh al-Akbar Muhyiddin ibnu Arabi rh., al-futūhāt al-Makkiyyah , Juz II, hal. 56.
[11] Allah berfirman: "Dan (juga Rasulullah SAW.) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. dan Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.". Imam Bukhari meriwayatkan, dari Abi Hurairah ra. beliau berkata: "Kami sedang duduk bersama Nabi SAW. ketika itu Surah al-Jumu'ah diturunkan atasnya; wa ākharīna minhum lammā yalhaqū bihim, beliau bertanya, aku bertanya: "Siapakah mereka itu Wahai Rasulullah!" Rasul tidak menjawab sampai ditanya tiga kali, bersama kami ketika itu ada Salman al-Farsi. Kemudian Rasulullah SAW. meletakkan tangannya di atas tubuh Salman seraya berkata: "Seandainya iman sudah terbang ke bintang Tsurayya, iman itu akan diambilnya kembali oleh beberapa laki-laki atau seorang laki-laki dari mereka (keturunan Farsi)" Abu Abdillah bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Darul Fikr, 2005, jilid 3, halaman 63, bab Tafsir Sūratil Jumu'ah.
[12] Allah berfirman: "Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci." Ibnu Jarir menyebutkan bahwa (kemenangan Islam II itu) akan terjadi 'inda nuzūli 'Isa Ibni Maryām (Ketika turun Isa Ibnu Maryam). Abu Hurairah ra. berkata: Khurūju 'Isa Ibnu Maryām (Ketika keluarnya Isa Ibnu Maryam). Tafsir Jāmi'ul Bayān, Darul Fikr, Beirut, 1995, jilid 14, halaman 112.
[13] Abdul Hakim Hakim, Al-Bayan, al-Maktabah as-Sa'diyyah Putera, Jakarta, t.t., hal. 53
[14] Mushlih Usman, Drs, MA, Kaidah-Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, halaman 44.
[15] Abdul Hakim Hakim, Al-Bayan, al-Maktabah as-Sa'diyyah Putera, Jakarta, t.t., hal. 51
[16] Rasulullah SAW. bersabda dalam hadits Ibnu Majah: " lā mahdiyya illā 'Isa ibna Maryām" (Tidak ada Mahdi melainkan Isa ibnu Maryam)
[17] Atabik Ali dan A.Zuhdi Mudhlor, Qāmus Karabyāk al-'Ashrī, Pondok Krapyak, Yogyakarta, cetakan kedelapan, halaman 108.
[18] H. Baihaqi A.K., Prof.Dr, Ilmu Mantik, Darul Ulum Press, 2002, hal 113. Lihat: Muhammad Al-Mubarak, Fiqhu Al-Lughah wa Khashāisul 'Arabiyyah, Darul Fikr, tt, hal 30.
[19] Dalam Tafsir Ash-Shāfi
[20] Dalam kitab Mir'atu al-suruh
[21] Dalam kitab Al-Tajridu al-Shariih
[22] Dalam kitab Al-Jami' Al-Islam
[23] Dalam kitab Wafiatul 'Ayan
[24] Dalam kitab Al-Itqan fii 'ulūm Al-Qur'an
[25] Dalam Tafsir Sūrat Al-Fātihah
[26] Dalam Al-Tafsir Al-Kabir
[27] Dalam kata Ujala Nafi
[28] Dalam Al-Futuh Al-Makiyyah
[29] Muslim bin Hajaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, Darul Fikr, 1993, jilid II, hal. 448, bah Min Fadhāili 'Alliyibni Abi Thālib.
[30] Lihat, Abu Abdillah bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Darul Fikr, 2005, jilid 3, halaman 129, bab Ghazwati Tabūka.
[31] Lihat, Abdul Hakim bin Amir Abdat, Al-Masaa-il, Darus Sunnah, Jakarta, 2007, jilid 2, halaman 110-111.
[32] Lihat, Dede A. Nasruddin, Ahli Sunnah Menjawab Ahmadiyah, LPPI, Jakarta, 2002, halaman 13.
[33] Abdul Hakim Hakim, Al-Bayan, al-Maktabah as-Sa'diyyah Putera, Jakarta, t.t., hal. 64
[34] Lihat, Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Turunnya Isa bin Maryam Di Akhir Zaman, terjemahan Abdurrahim Ahmad,Najla Press, Jakarta, 2008, hal. 103-151.
[35] H.R. Bukhari. Jalaluddin as-Suyuthi, al-Jāmi' al-Shāghir, Syirkah al-Ma'arif, Bandung, t.t., juz II, hal. 204. Alauddin al-Hindi, Kanz al-Ummal, Muassaatur Risalah, Beirut, 1989, Jilid 16, hadits nomor 46251.
[36] Menurut Yorkleman sebanyak 415 karya tulis, sedangkan menurut Asy-Sya'rani karya Imam Jalaluddin mencapai 460.
[37] Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Turunnya Isa bin Maryam Di Akhir Zaman, terjemahan Abdurrahim Ahmad,Najla Press, Jakarta, 2008, hal 90-91.
[38] Abdul Wahhab asy-Syafi'i asy-Sya'rani, Al-Yawāqit wa al-Jawahir, al-Haramain, Singapura, t.t, Juz II, hal. 22.
[39] Syaikh al-Akbar Muhyiddin ibnu Arabi rh., Al-Futuhat al-Makkiyah, Juz II, hal. 73.
[40] QS. al-Ahzab [33]: 40
[41] Orang yang dikaruniai derajat kenabian pada umat Muhammad SAW. dan dalam lingkup syari'at Islam (nabi ghair mustaqil).
[42] Orang yang memperoleh kemulian (keluhuran) kenabian dengan sebab mengikui Nabi Muhammad SAW.secara sempurna.
[43] Prof.DR. Hamka (mantan ketua MUI), Prof.DR. Ahmad Syalaby, Syaikh Mahmud Saltut, Muhammad Rasyid Ridha dan lain-lain meyakini bahwa menurut Al-Qur'an, Nabi Isa telah wafat seperti biasa. DR. Hamka menulis: "Tidak ada dalam al-Qur'an suatu nash yang sharih dan putus tentang Isa a.s. diangkat ke langit dengan tubuh dan nyawanya itu, dan bahwa dia sampai sekarang masih hidup, dengan tubuh nyawanya. Adapun sabda Tuhan mengatakan: "Aku akan mewafatkan engkau dan mengangkat engkau kepadaKu dan membersihkan engkau daripada oarng-orang kafir itu!". Jelaslah bahwa Allah mewafatkannya dan mematikannya dan mengangkatnya, zahirnya (nyata) dengan diangkatnya sesudah wafat itu, yaitu diangkat derajatnya di sisi Allah, sebagaimana Idris a.s. dikatakan Tuhan: "dan Kami angkatkan dia ke tempat yang tinggi". Dan inipun jelas pula yang jadi pendapat setengah ulama-ulama Muslimin, bahwa beliau diwafatkan Allah, wafat yang biasa, kemudian diangkatkan derajatnya. Maka diapun hiduplah dalam kehidupan rohani, sebagaimana hidupnya orang-orang yang mati syahid dan kehidupan Nabi-nabi yang lain juga". (Tafsir Al Azhar, PT. Pustaka Panjimas, Jakarta, 2006, juz III, halaman 256.) DR. Ahmad Syalaby menulis: "Mahaguru Al-Azhar itu menambahkan keterangannya sebagai berikut. Bahwasanya Isa-Al-Masih itu meninggal dunia secara wajar seperti manusia biasa meninggal. Bahwa yang diangkat naik ke langit itu ialah rohnya, dinaikkan bersama-sama roh para nabi, siddikin, dan syuhada". (Perbandingan Agama Agama Kristen, alih bahasa DR.JS.Badudu, PT. Al-Ma'arif, Bandung, cetakan ke-10, hal. 25)
[44] Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Minanur Rahmān, Ruhani Khazain Vol 9, Additional Nazir Isya'at, London, halaman 49.
[45] Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, at-Tabligh, Additional Nazir Isya'at, London, halaman 14.
1 komentar:
Semoga bermanfaat, uraian-uraian Ki Waras dalam blog ini. Mudah-mudahan membawa pencerahan bagi para pencari yang haus akan kebenaran.
Posting Komentar