SYAHKAH KEISLAMANAN AHMADIYAH?

Kamis, 24 April 2008

 

Oleh: Ki Waras Jagat Pakuan

Menurut Assunnah

Rasulullah SAW. bersabda: “Man shollā sholātanā wa istaqbala qiblatanā wa akala dzabīĥatanā fadzālika al-muslim alladzī lahu dzimmatullahi wa dzimmatu rasūlihi falā tukhfirūlloha fī dzimmatihi” (Barangsiapa shalat sebagaimana shalat kita, menghadap kiblat kita, dan memakan sembelihan kita maka orang seperti itu adalah seorang muslim, baginya berhak mendapatkan perlindungan Allah dan Rasul-Nya. Maka janganlah kalian membatalkan (perjanjian) Allah dalam hal perlindungan-Nya itu)[1]. Tidak diragukan lagi bahwa Ahmadiyah shalat sebagaimana Shalat Rasulullah SAW., menghadap kiblat Rasulullah SAW. dan memakan sembelihan Umat Islam. Siapa yang berani melanggar syariat (hukum) Allah dan Rasul-Nya ini? Dan siapa yang berani mengkafirkan orang yang sudah dinyatakan keislamannya oleh Rasulullah SAW.? Na’ūdzubillah tsumma na’ūdzubillah jika masih ada orang yang karena ketaburannya berani menon-muslimkan orang yang telah dinyatakan Islam oleh Rasulullah SAW. Ketakaburan inilah nampaknya yang menjadi sumber azab dan bencana di dunia ini.

Rasulullah SAW. bersabda: Umirtu an uqŏtilannāsa hatta yaqūlū lā ilāha illallohu, faidzā qŏlūhā wa shollū sholātanā wa istaqbalū qiblatanā wa dzabaĥū dzabīĥatanā faqod hurrimat ‘alainā dimāuhum wa amwāluhum illā bihaqqihā wa hisābuhum ‘alallohi. (Aku diperintah untuk memerangi orang-orang [dalam kondisi perang] sampai mengucapkan “Tidak ada Tuhan selain Allah”, maka apabila sesorang telah mengucapkan ”lā ilāha illallohu, shalat seperti shalat kita, menghadap kiblat kita, menyembelih sebagaimana kita menyembelih, maka benar-benar telah diharamkam darah dan harta-harta mereka [untuk dibunuh atau dijarah] keculia dengan sebab haknya [seperti karena membunuh atau tindakan kriminal lain] sedangkan perhitungan yang sebenarnya ada pada Allah [karena hakim bisa saja salah dalam menjatuhkan putusan]. Betul-betul sangat keliru jika ada tokoh-tokoh muslim radikal atapun teroris yang menghalalkan darah orang Ahmadiyah dengan sebab keyakinan akan datangnya nabi ghair musyarri’ (nabi yang tidak membawa syari’at), karena keyakinan semacam itu telah diyakini pula oleh para wali, seperti Asy-Sya’rani rh., Al-Jili rh., dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi. As-Suyuthi berkata: Orang yang berprasangka itu berkata, ”tapi dalilnya adalah, ’Tidak ada wahyu setelahku’”. Kami berkata, ”Hadits ini dengan lafazh seperti ini adalah tidak benar”. Orang yang berprasangka itu berkata, ”Dalilnya adalah hadits, Tidak ada nabi setelahku”. Kami mengatakan: Kasihan sekali engkau, tidak ada dalil pada hadits ini dari sisi mana pun, karena yang dimaksudkan oleh hadits ini adalah: tidak muncul setelahku seorang nabi dengan syariat yang menghapus syari’atku, sebagaimana yang ditafsirkan oleh para ulama.[2]

Menurut Imam Syafi’i

Seandainya Imam Syafi’I rh. masih hidup, mungkin sekali beliau akan menjadi salah seorang Imam Mazhab yang menentang “Patwa MUI” tentang Pengkafiran Ahmadiyah. Kanapa demikian? Karena Ahmadiyah meyakini dan mengucapkan syahadatain (dua kalimah Syahadat), menetapi dan mengamalkan Rukun Islam dan Rukun Iman. Keyakinan Ahmadiyah sama sekali bukan keyakinan baru, melainkan keyakinan Islam yang hakiki yang digali berdasarkan bimbingan wahyu dan ilmu pengetahuan. Perbedaan antara Ahmadiyah dengan para penentangnya hanyalah terletak pada perbedaan Tafsir (tafsiran/interprestasi) atau Ta’wil (penakwilan/penjelasan) ayat Al-Qur’an dan beberapa Hadits Rasulullah SAW.belaka.

Imam Syafi’i, seorang Imam Mazhab yang pada masanya dituduh bahwa ia seorang pengikut Syi’ah pernah dinyatakan kafir dan sesat oleh lawan-lawan beliau. Oleh karena itu wajarlah jika Imam Syafi’i rh. dengan tegas menyatalkan: “Saya tidak mengkafirkan ahli ta’wil dengan sebab kekeliruan mereka”. Dalam riwayat lain: “Saya tidak mengkafirkan seorangpun dari ahli kiblat (yang shalatnya menghadap Ka’bah) dengan sebab kekeliruan mereka”. Dalam riwayat lain beliau berkata: “Saya tidak mengkafirkan ahli ta’wil, yang berpaling dari tekstual ayat Al-Qiur’an dengan sebab kesalahan (kekeliruan) mereka”.[3]

Oleh karena itu, kepada segenap Bangsa Indonesia (khususnya para pengikut Mazhab Syafi’i) untuk tidak mengikuti Fatwa MUI atau patwa ulama-ulama yang berani mengkafirkan Ahmadiyah karena Ahmadiyah dengan jelas dan nyata bahwa mereka adalah ahli kiblat, mereka tidak mempunyai kiblat lain selain Ka’bah di Makkah al-Mukarramah dan mereka tidak mempunyai kitab suci lain selain Al-Qur’an. Sekali lagi, Ahmadiyah dengan non-Ahmadiyah hanya beda Tafsir atau Ta’wil saja.Takutlah kepada Allah dan berhentilah mencap kafir kepada pengucap dua kalimah syahadat atau orang-orang yang shalatnya menghadap Ka’bah. Kita jangan mengambil resiko jadi kafir dengan sebab mencap kafir kepada mereka.

Tsunami Aceh

Tsunami Aceh

Azab dan Bencana Penganiayaan Ahmadiyah

Rasulullah SAW. bersabda:

  • “Takutilah do’a (kutukan) orang yang dizalimi, karena do’a (kutukannya) akan dibawa Malaikat ke angkasa (langit). Allah Ta’ala berfirman: ‘Demi keagungan dan kegagahan-Ku, pasti Aku akan menolong engkau (orang yang dizalimi) walaupun telah berlalunya masa (kutukan itu tetap akan turun) ”.[4]
  • “Takutilah do’a (kutukan) orang yang dizalimi, karena do’a (kutukannya) akan naik ke langit seperti percikan bunga api”[5]
  • “Do’a (kutukan) orang yang dizalimi mustajab (dikabulkan), walaupun orang itu seorang ahli maksiat karena akibat kemaksiatannya itu untuk dirinya”.[6]

Dalam hal ini, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as. menerima wahyu: “Seorang pemberi peringatan telah datang ke dunia dan dunia tidak menerimanya, tetapi Tuhan akan menerimanya dan Dia akan menampakkan kebesaran-Nya dengan serangan yang dahsyat”.[7]

Penulis menghimbau kepada segenap elemen Bangsa Indonesia untuk dengan serius dan segera menghentikan dan menolak segala bentuk penganiayaan, penyerangan, pengrusakkan, dan penjarahan atas Ahmadiyah. Jika tidak, penulis khawatir azab dan bencana besar akan terus turun seiring dengan penganiayaan (penzaliman) terhadap Ahmadiyah itu.

Terakhir, kepada Forum Umat Islam (FUI) penulis sampaikan bahwa Bangsa Indonesia pada akhirnya akan tahu bahwa: Tuduhan “Penodaan Agama” yang kalian kemukakan, dalam istilah Sullamul Munauraq (mantiq) disebut HUJJAH SAFSATHIYYAH (argumentasi yang seolah-olah benar padahal salah alias akal-akalan) BELAKA. Untuk itu berhentilah menzalimi Ahmadiyah dan jangan terus-menerus mengundang azab dan kesengsaraan. Jadikan “kehancuran” Afghanistan, negeri yang telah merajam (menghukum mati) dua murid Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as. sebagai pelajaran.

Alhamdulillahi Rabbil ālamiin



[1] Lihat, Abu Abdillah bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Darul Fikr, 2005, jilid 1, halaman 102, bab Fadhli istiqbālil qiblat..

[2] Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Turunnya Isa bin Maryam Di Akhir Zaman, terjemahan Abdurrahim Ahmad,Najla Press, Jakarta, 2008, hal 90-91.

[3] Yusuf bin Isnail an-Nahabani, asy-Syaikh, Syawāhidul haqq, Darul Fikr, Beirut, 1983, halaman 50. Dan Abdul Wahhab Sya’rani, asy-Syaikh, Al-Yawāqit wa Al-Jawāhir, al-Haramain, Singapura, tth, juz I, halaman 126.

[4] Hadits Riwayat Ath-Thabarani, Al-Jmi’ Al-Shaghîr, Jilid I, halaman 28, hadits no 148.

[5] Hadits Shahih Riwayat Al-Hakim, Al-Jmi’ Al-Shaghîr, Jilid I, halaman 28, hadits no 149.

[6] Hadits Shahih Riwayat Ath-Thayalis, Al-Jmi’ Al-Shaghîr, Jilid I, halaman 648, hadits no 4204.

[7] Mirza Hulam Ahmad, Sirrul Khilfah, Riyadhul Hindi, Amritsar India, 1312 H, halaman 1.



2 komentar:

morning fresh mengatakan...

Ki Waras memang OK. jagat Pakuan gonjangn ganjing, Ki Waras tetap melaju.

Anonim mengatakan...

Saya masih bingung saja, kenapa jema'at tidak diperbolehkan makmum dibelakang non jema'at? Itu saja yang mengganjal pikiran saya bertahun-tahun.

Bisa dibuatkan penjelasan dalam halaman blog anda?
Terima kasih.