Oleh: Ki Waras Jagat Pakuan
Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, Maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan "salam" kepadamu: "Kamu bukan seorang mukmin" (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, Karena di sisi Allah ada harta yang banyak. begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, Maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. An-Nisa [4]:94)
Republika, edisi hari ini, Ahad,
Setelah penulis membaca komentar-komentar ketiga tokoh tersebut penulis tergerak hati untuk memberikan tanggapan-tanggapan sebagai berikut:
Pertama: Aqidah dan Jemaat Ahmadiyah meyakini dan mengamalkan 100% aqidah-aqidah yang telah dirumuskan dalam Rukun Islam dan Rukun Iman oleh Nabi Paling Mulia, Muhammad SAW. Penulis ingin bertanya kepada ketiga tokoh tersebut, Rukun Islam dan Rukun Iman yang mana yang dilanggar oleh Ahmadiyah sehingga Ahmadiyah difatwa non-muslim alias kafir? Penulis yakin bahwa Bapak KH. A Cholil Ridwan, Ahmad Sumargono, dan Munarman tidak mempunyai Rukun Islam atau Rukun Iman yang lain atapun Rukun Islam dan Rukun Iman hasil revisi. Oleh karena itu absurd (salah sama sekali) jika K.H. A.Cholil Ridwan menyamakan aqidah atau kasus Ahmadiyah dengan Al-Qiyadah.
Kedua: Menyatakan bahwa Ahmadiyah berada di luar Islam (kafir), bertentangan dengan Al-Qur’an, khususnya Surah An-Nisa [4]:94 seperti tersebut di atas, karena ada qaidah: al-‘ibratuhu bi’umūmil lafzhi lā bikhushūshi sababi[1] dan bertentangan pula dengan hadits-hadits shahih Imam Bukhari berikut:
· Rasulullah SAW. bersabda: “Man shollā sholātanā wa istaqbala qiblatanā wa akala dzabīĥatanā fadzālika al-muslim alladzī lahu dzimmatullahi wa dzimmatu rasūlihi falā tukhfirūlloha fī dzimmatihi” (Barangsiapa shalat sebagaimana shalat kita, menghadap kiblat kita, dan memakan sembelihan kita maka orang seperti itu adalah seorang muslim, baginya berhak mendapatkan perlindungan Allah dan Rasul-Nya. Maka janganlah kalian membatalkan (perjanjian) Allah dalam hal perlindungan-Nya itu)[2]. Tidak diragukan lagi bahwa Ahmadiyah shalat sebagaimana Shalat Rasulullah SAW., menghadap kiblat Rasulullah SAW. dan memakan sembelihan Umat Islam. Siapa yang berani melanggar syariat (hukum) Allah dan Rasul-Nya ini? Dan siapa yang berani mengkafirkan orang yang sudah dinyatakan keislamannya oleh Rasulullah SAW.? Na’ūdzubillah tsumma na’ūdzubillah jika masih ada orang yang karena ketaburannya berani menon-muslimkan orang yang telah dinyatakan Islam oleh Rasulullah SAW. Ketakaburan inilah nampaknya yang menjadi sumber azab dan bencana di dunia ini.
· Rasulullah SAW. bersabda: Umirtu an uqŏtilannāsa hatta yaqūlū lā ilāha illallohu, faidzā qŏlūhā wa shollū sholātanā wa istaqbalū qiblatanā wa dzabaĥū dzabīĥatanā faqod hurrimat ‘alainā dimāuhum wa amwāluhum illā bihaqqihā wa hisābuhum ‘alallohi. (Aku diperintah untuk memerangi orang-orang [dalam kondisi perang] sampai mengucapkan “Tidak ada Tuhan selain Allah”, maka apabila sesorang telah mengucapkan ”lā ilāha illallohu, shalat seperti shalat kita, menghadap kiblat kita, menyembelih sebagaimana kita menyembelih, maka benar-benar telah diharamkam darah dan harta-harta mereka [untuk dibunuh atau dijarah] keculia dengan sebab haknya [seperti karena membunuh atau tindakan kriminal lain] sedangkan perhitungan yang sebenarnya ada pada Allah [karena hakim bisa saja salah dalam menjatuhkan putusan]. Betul-betul sangat keliru jika ada tokoh-tokoh muslim radikal atapun teroris yang menghalalkan darah orang Ahmadiyah dengan sebab keyakinan akan datangnya nabi ghair musyarri’ (nabi yang tidak membawa syari’at), karena keyakinan semacam itu telah diyakini pula oleh para wali, seperti Asy-Sya’rani rh., Al-Jili rh., dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi. As-Suyuthi berkata: Orang yang berprasangka itu berkata, ”tapi dalilnya adalah, ’Tidak ada wahyu setelahku’”. Kami berkata, ”Hadits ini dengan lafazh seperti ini adalah tidak benar”. Orang yang berprasangka itu berkata, ”Dalilnya adalah hadits, Tidak ada nabi setelahku”. Kami mengatakan: Kasihan sekali engkau, tidak ada dalil pada hadits ini dari sisi mana pun, karena yang dimaksudkan oleh hadits ini adalah: tidak muncul setelahku seorang nabi dengan syariat yang menghapus syari’atku, sebagaimana yang ditafsirkan oleh para ulama.[3]
Ketiga: Mengenai “senjata pamungkas” yang sering dipamerkan yaitu Ijma’ atau kata-kata mujma’an ‘alaih (kutifan dari Sulam Taufiq) dalam memfatwai kafir atau sesat Ahmadiyah. Perhatikan pendapat K.H. Moenawar Chalil berikut ini: Ijmak yang diakui dan dibenarkan oleh mereka itu, ialah ijmak para sahabat Nabi; dan selain dari itu tidaklah mungkin, bahkan mustahil terjadi. Di antara para ulama mujtahid besar yang mengingkari (tidak membenarkan) adanya ijmak di masa sesudah para sahabat Nabi, ialah Imam Ahmad bin Hanbal (pemuka mazhab Hanbali) yang hidup di antara pertengahan abad kedua dan pertengahan abad ketiga Hijrah. Antara lain beliau berkata: “Barang siapa yang mendakwakan ijma, maka ia berdusta”.....Jelasnya, barangsiapa mendakwakan ada terjadi ijmak sesudah para sahabat, maka ia berdusta[4] Mengenai Ijma’ ini untuk lebih jelasnya KH. A Cholil Ridwan, Ahmad Sumargono, dan Munarman agar menelaah kembali Tanya Jawab A.Hassan, bundel Majalah Pembela Islam, dan bundel Majalah Al-lisan. Penulis heran kenapa masalah tafkir dan fatwa sesat yang sangat serius ini dasarnya hanya Ijma’ ulama, bukan Al-Qur’an atau As-Sunnah? Bukankah K.H. Moenawar Chalil dan A. Hassan yang anti ijma’ itu sangat dekat dengan ketiga tokoh itu? Penulis tahu hal ini karena penulis adalah mantan pengagum A.Hassan, K.H. Moenawar Chalil, Mohammad Natsir, HOS.Tjokroaminoto, bahkan Imam Kartosuwiryo.
Keempat: Pemerintah, rakyat dan bangsa Indonesia sekarang ini lagi susah. Mari kita bantu pemerintah dan rakyat Indonesia untuk segera keluar dari berbagai kesulitan dengan amal nyata, keteduhan, kestrabilan politik dan sosial. Tidak ada gunanya “ngopenan” Ahmadiyah yang sudah jelas punya hak hidup dan dijamin oleh Konstitusi Negara, bahkan HAM PBB. Penulis meyakini bahwa “penyerangan” dan “penzaliman” terhadap Ahmadiyah hanya akan membuat noda dan dosa yang akan menyebabkan munculnya bencana-demi bencana serta malapetaka. Lebih baik kita amalkan Sabda Baginda Nabi Muhammad SAW. dalam hadits ini: Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW. “Amalan Islam yang mana yang paling bagus?” Rasulullah SAW. menjawab: “Memberi makan orang miskin (lapar) dan mengucapkan salam kepada siapa yang engkau kenal dan yang tidak”.[5]
Kelima: Kepada Pemerintah, penulis do’akan agar tetap tegar memegang teguh Konstitusi Negara (Pancasila dan UUD 45) dan jangan terpengaruh dengan keinginan segelintir orang yang ingin merusak nilai-nilai Pancasila dan UUD 45. Realitas dan fakta membuktikan bahwa Negara Pakistan dan Afghanistan dua buah negara dimana di sana Jemaat Ahmadiyah sudah sejak lama dianiaya, dikafirkan, pengikutnya banyak yang dibunuh atas nama agama, dan harta mereka banyak yang dijarah kondisinya dapat kita saksikan sekarang. Seandainya menganiaya orang Ahmadiyah bukan dosa besar dan bahkan diridhai Allah, kenapa negeri mereka dilanda banyak mencana, peperangan dan pembunuhan? Afghanistan, adalah negeri yang rajanya (Amir Habibullah Khan) pertama kali mensyahidkan dengan cara dirajam dua orang shahabat Imam Mahdi as. (Pendiri Jemaat Ahmadiyah), yakni Sahibzada Sayyid Abdul Latif (keturunan Nabi SAW.) dan Maulwi Abdurrahman di Kabul. Kemudian disusul dengan pensyahidan Hadhrat Ni’matullah Khan pada 1924, Maulana Abdul Halim dan Hadhrat Qari Nur Ali pada 1925 dengan cara yang sama (rajam). Seandainya membunuh pengikut dan sahabat Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as. itu jihad atau apapun namanya, kenapa Afghanistan terus menerus dilanda kemalangan (penderitaan), bukannya diberikan “pahala” oleh Allah berupa “ketentraman” dan “kemakmuran”?
Semoga bangsa kita tidak terjerumus ke dalam jurang kekerasan, radikalisme dan penganiayaan. Kita doakan agar pemerintah kita tidak mengikuti langkah-langkah keliru pemerintah Afghanistan maupun Pakistan. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.
[1] Qaidah Ushul menyatakan: “faktor hukum itu berdasarkan keumuman lafal bukan pada khusunya sebab“. Jadi walaupun ayat ini sebabnya berkenaan dengan perang, dalam keadaan damaipun menyatakan orang yang mengaku beriman dengan sebutan bukan orang beriman adalah melanggar hukum Allah dan rasulnya.
[2] Lihat, Abu Abdillah bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Darul Fikr, 2005, jilid 1, halaman 102, bab Fadhli istiqbālil qiblat..
[3] Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Turunnya Isa bin Maryam Di Akhir Zaman, terjemahan Abdurrahim Ahmad,Najla Press,
[4] Moenawar Chalil, KH. Kembali Kepada Al-Qur’an Dan Assunnah, Bulan Bintang,
[5] Shahih Bukhari, Darul Fikr, 2005, jilid 1, halaman 9 dan 13, bab Ith’āmith tha’ām minal islām.
0 komentar:
Posting Komentar