Sejerah Talaga

Selasa, 29 Januari 2008

 

SEJARAH  RINGKAS

KERAJAAN  TALAGA

Sebelum Masuknya Islam

Oleh Ki Waras Jagat Pakuan

 

Pengantar

BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM

Assalāmu 'alaikum wr.wb.

Allahumma shalli 'ala Muhammad wa āli Muhammad.

          Berkat rahmat dan taufik Allah SWT semata, tulisan ini dapat saya persembahkan kepada setiap orang yang peduli terhadap sejarah dan budaya Tanah Pasundan. Ucapan terimakasih saya sampaikan kepada Kang Abung Syihabuddin, Sesepuh Talaga dan keluarga besar Talaga yang telah memberikan rujukan pokok bagi penulisan sejarah ini.

          Terus terang saja, Pintu Gerbang Talaga baru dapat penulis masuki setelah melalui berbagai perjalanan spiritual, yakni dalam perjalanan pulang sehabis penulis berziarah ke Situs Karangkamulyan (Ciungwanara) Banjar Kabupaten Ciamis sekitar lima tahun yang lalu. Selanjutnya, sehari setelah ziarah-pendakian Gunung Simpay (Eyang Mandalasakti) di Sumedang saya mendapat taufik untuk dapat menemukan kembali letak makam Raden Ragamantri, putera Maha Raja Prabu Siliwang yang menjadi Pucuk Umum Talaga sekaligus suami dari Ratu Parung.[1]

          Semoga tulisan yang cukup ringkas ini dapat bermanfaat bagi para pelajar, mahasiswa dan pembaca sekalian dimanapun berada. Juga tidak lupa, semoga tulisan ini akan ikut memperkaya khazanah budaya dan sejarah bangsa Indonesia tercinta. Amin.

Wassalam:

Ki Waras Jagat Pakuan.

 

Berdirinya Kerajaan Talagamanggung

            Nun jauh di lereng Gunung Ciremay sebelah selatan, di sekitar Desa Sangiang Kecamatan Talaga Kabupaten Majalengka, berdiri satu Negara yang disebut dengan Kerajaan Kerajaan Talaga. Yang pertama-tama mendirikan dan mengolah Negara tersebut yaitu Batara Gunung Picung, putera keenam Ratu Galuh Ajar Sukaresi atau disebut juga Maharaja Sakti Adimulya (1252 � 1287 M).

          Adapun Ratu Galuh Ajar Sukaresi sendiri mempunyai delapan putera/puteri dari isteri beliau yang berlain-lainan. Nama-nama mereka itu adalah:

  1. Prabu Hariangbanga: Menurunkan para raja di daerah Jawa Timur, seperti Prabu Brawijaya II sampai Prabu Brawijaya V;
  2. Maharajasakti: Menurunkan para raja di tanah Pajawan;
  3. Prabu Ciungwanara (1287 � 1303 M): Menurunkan para raja di Pakuan dan Pajajaran;
  4. Ratu Ragedangan;
  5. Prabu Haurkuning, Maharaja Ciptapermana I (1580 � 1595 M);
  6. Batara Gunung Picung (1595 � 1618); Menurunkan Raja-Raja Talaga;
  7. Ratu Permana Dewa; dan
  8. Bleg Tamblek  Raja Kuningan.

 

Adapun Batara Gunung Picung (Ciptaperman II) beliaulah yang menjadi Raja pertama di Talaga (Talagamanggung), dari beliau itu pula menurunkan:

  1. Sunan Cungkilak;
  2. Sunan Benda;
  3. Sunan Gombang;
  4. Ratu Ponggang Sang Romahiyang; dan
  5. Prabu Darmasuci I.

 

Prabu Darmasuci I

          Prabu Darmasuci I mempunyai dua orang putera yang akan melanjutkan silsilah Kerajaan Talaga pada masa berikutnya, dua orang putera beliau itu adalah:

1.    Bagawan Garasiang; dan

2.    Prabu Darmasuci I (Prabu Talagamanggung).

 

Bagawan Garasiang

     Putera sulung Prabu Darmasuci I adalah Begawan Garasiang, beliau adalah orang yang gemar bertapa dan merenung sehingga beliau menjadi seorang Begawan Hindu Kahiyangan. Ia mendirikan padepokan di satu gunung kecil yang disebut Pasir Garasiang, terletak di daerah perbatasan antara Kecamatan Argapura dan Talaga sekarang. Beliau mempunyai puteri yang bernama Ratu Putri Mayangkaruna, yang kemudian diperistri oleh Prabu Mundingsari Ageung, putera Prabu Siliwangi II (Raden Pamanah Rasa)[2] dari Pajajaran.

          Kalau kita perhatikan, dengan adanya pernikahan Putri Talaga dan Putra Pajajaran, ini adalah hukum yang tidak tertulis akan tetapi menjadi ciri khas langkah strategis dan politis raja-raja Pasundan untuk mempertahankan keutuhan Negara dan ikatan kekeluargaan melaui jalan pernikahan di antara para penguasa wilayah Pasundan. Dengan memperhatikan asfek-asfek penting inilah sikap silih asih, silih asah, silih asuh akan terekat kuat.

 

Prabu Darmasuci II (Prabu Talagamanggung)

            Prabu Darmasuci II (Prabu Talagamanggung) bersemayam di Talaga, keraton beliau terletak di Sangiang, dengan panorama situ keraton yang indah yang disebut Situ Sangiang. Menurut catur para sepuh Talagamanggung adalah seorang Narpati yang sakti mandraguna dan weduk (tidak tembus senjata). Beliau mempunyai sebuah senjata pusaka yang diberi nama CIS, bentuknya seperti tombak kecil atau sekin. Konon, bahwa beliau ketika lahir tidak memiliki pusar seperti halnya orang pada umumnya. Menurut ceritera pula Prabu Talagamanggung hanya mempan ditembus senjata oleh senjata CIS-nya itu.

          Pada masa pemerintahan Prabu Talagamanggung Kerajaan Talaga mengalami kemajuan yang gilang-gemilang dan kondisi sosial masyarakatnya semakian tentram dan mapan. Dengan demikian banyak orang yang berasal dari negara dan daerah lain ikut menetap di Talaga.

          Prabu Talagamanggung mempunyai seorang menantu yang berasal dari Bangsawan Palembang yang bernama Palembangunung (suami Putri Dewi Simbarkancana), pada suatu kesempatan Palembanggunung mengadakan gerakan bawah tanah untuk merebut kekuasaan dari mertuanya. Akhirnya Palembanggunung dengan komplotannya, melalui oleh seorang pengawal pribadi Sang Prabu, Centrangbarang (yang ditugaskan mengurus senjata) ia berhasil mencuri senjata CIS tersebut dan memberikannya kepada Palembanggunung yang kemudian digunakan untuk menusuk tubuh Sang Prabu. Dalam peristiwa itu Prabu Talagamanggung terluka dan kemudian tubuhnya menjadi lemas dan akhirnya meninggal. Jenazah beliau diurus sesuai ajaran Agama Hindu Kahiyangan, abu jenazahnya di larung di Situ Sangiang[3].      

Pada masa hidupnya, Prabu Talagamanggung mempunyai satu orang putera dan satu orang puteri; Raden Panglurah dan Raden Dewi Simbarkancana.     

 

Raden Panglurah

            Dari usia kecil ia sudah rajin melatih diri, berangkat ke Gunung Bitung[4], beliau bertapa di bekas bertapa uyut beliau, Ratu Ponggang Sang Romahiyang. Raden Panglurah[5] adalah seorang sosok putera penguasa (raja) yang memiliki sifat-sifat zuhud, meninggalkan kesenangan dunia) dan lebih memilih untuk mengolah jiwa dan mengembangkan asfek-asfek spiritual yang telah dikaruniakan Tuhan kepadanya. Dalam kata lain Radan Panglurah lebih memilih ketentraman dan kesenangan runani serta penghambaan kepada Tuhan Semesta alam.

 

Raden Dewi Simbarkancana

            Raden Dewi Simbarkancana walaupun seorang puteri beliau banyak memiliki sifat-sifat kepemimpinan yang diwarisi ayahanda beliau, Prabu Talagamanggung. Beliau menikah dengan Palembanggunung, Pepatih kerajaan. Pada mulanya Dewi Simbarkancana tidak mengetahui bahwa kematian ayahanda beliau itu didalangi suaminya sendiri, akan tetapi sabuni-bunina mungkus tarasi lambat laun kebusukan sang suami diketahui juga oleh beliau. Sepeninggal Prabu Talagamanggung, Kerajaan Talaga untuk sementara waktu dikuasai oleh Palembanggunung.

          Dewi Simbarkancana merasa sangat terpukul, beliau ceurik balilihan[6]  (menangis dengan sangat menderita batin) karena dua hal: pertama, karena beliau dihianati oleh suami beliau sendiri; yang kedua, karena ditinggal oleh ayahanda tercinta dengan peristiwa yang memilukan. Menurut beliau, siapa orangnya yang tidak berduka hati ketika ditinggal sang ayah. Ayahanda beliau, sesorang yang sudah berbuat baik mengangkat derajat Palembanggunung dibalas dengan perilaku yang sangat keji. Air susu dibalas air tuba itulah yang terjadi. Akhirnya dengan keberanian beliau, Dewi Simbarkancana berhasil membunuh Palembanggunung dengan susuk kondenya.

Selanjutnya Raden Dewi Simbarkancana menikah dengan Raden Kusumalaya (Raden Palinggih) dari keraton Galuh, putera dari Prabu Ningrat Kancana. Beliau adalah seorang yang masagi pangarti (cakap lahir batin), seorang tabib dan ahli strategi. Beliau berhasil menumpas tuntas gerakan bawah tanah Palembanggunung dan komplotannya, dengan demikian kekuasaan dapat diambil kembali, keamanan dan ketertiban negara kembali menjadi stabil dan kokoh.

Dari pernikahan Dewi Simbarkancana dengan Raden Kusumalaya membuahkan delapan orang putera, yaitu:

1.    Sunan Parung (Batara Sukawayana);

2.    Sunan Cihaur, (Mangkurat Mangkureja);

3.    Sunan Gunung Bungbulang;

4.    Sunan Cengal (Kerok Batok);[7]

5.    Sunan Jero Kaso;

6.    Sunan Kuntul Putih;

7.    Sunan Ciburang; dan

8.    Sunan Tegalcau.[8]

 

Perpindahan Pertama Pusat Kerajaan (ke Walangsuji)

          Menyusul kekacauan yang menimpa keraton Sangiang, yakni dengan adanya rajapati terhadap Prabu Talagamanggung dan pemberontakan yang didalangi sang menantu durhaka, hal ini mendorong Ratu Simbarkancana untuk memindahkan pusat kerajaan dari tutugan Gunung Ciremay ke Walangsuji, di Desa Kagok, Kemantren Banjaran, Kecamatan Talaga sekarang.

          Pusat pemerintahan di Walangsuji nampaknya tidak begitu lama, boleh dikatakan hanya selama ngulub waluh. yakni pusat kerajaan hanya bertahan di Walangsuji selama tujuh tahun tiga bulan[9]. Setelah Penguasa Talaga memandang dari berbagai segi akhirnya diputuskanlah bahwa Walangsuji  kurang strategis untuk tetap dijadikan pusat pemerintahan Kerajaan Talaga sehingga pusat karajaan harus segera dipindahkan kembali. 

 

Perpindahan KEDUA Pusat Kerajaan (ke Parung)

            Sepeninggal Ratu Simbarkancana, Kerajaan Talaga dipegang oleh putera sulung beliau yang mendapat julukan Sunan Parung (1450 M). Setelah Sunan Parung mangkat, pemerintahan diserahkan kepada satu-satunya puteri beliau yang bernama Ratu Dewi Sunyalarang (1500 M) yang di kemudian hari mendapat julukan Ratu Parung.

          Dewi Sunyalarang (Ratu Parung) menikah dengan Raden Ragamantri, putera Prabu Mundingsari Ageung dari Ratu Mayangkaruna. Raden Ragamantri adalah cucu dari Begawan Garasiang dan juga cucu dari Prabu Siliwangi II (Jaya Dewata atau Pamanah Rasa). Pada masa pemerintahan Dewi Sunyalarang inilah pusat kerajaan dipindahkan ke Parung. (Bersambung ke: Sejarah Ringkas Kerajaan Talaga Setelah Masuknya Islam)

   

           



[1]  Letak kuburan Raden Raga Mantri, cucu Bagawan Garasiang dan Raden Pamanah Rasa terletak di luar bangunan yang biasa dipakai tahlilan para penziarah, di bawah pohon besar dengan tiga buah batu biasa sebagai batu nisannya, sesuai pesan spiritual beliau. Peletakan batu nisan penulis lakukan dibantu oleh kuncen situs, Bapak H. Emod dan sahabat penulis Suharto.

[2] Kata Siliwangi berasal dari kata Silih yang berarti pengganti atau penerus  dan Wangi yang berarti wangi atau harum. Dengan demikian, makna dari nama Prabu Siliwangi mempunyai pengertian bahwa beliau adalah Pengganti atau Penerus Prabu Wangi (Wangisutah) yang gugur di alun-alun Bubat Majapahit (sekarang terletak di Kec.Trowulan Kab.Mojokerto) pada tahun 1357 M dalam mempertahankan kehormatan dan wibawa Kerajaan Pajajaran. Ketika itu, rombongan dari Pajajaran bermaksud untuk mengawinkan puteri beliau Putri Diyah Pitaloka dengan Raja Hayam Wuruk atas pinangan Sang Raja. Ketika itu rombongan calon penganten perempuan berhenti dan membuat pasangrahan di alun-alun Bubat sambil menunggu jemputan Raja Hayam Wuruk (calon penganten laki-laki). Rupanya niat mulia Prabu Wangi (Wangisutah) dan Raja Hayam Wuruk tidak dikehendaki oleh Patih Gajah Mada, ia mengadakan "gerakan rahasia" yang tidak diketahui oleh rajanya sendiri. Gajah Mada dengan pasukannya yang sangat besar mengepung dan menyerbu rombongan calon pengantin perempuan sehingga menyebabkan gugurnya Sang Mokteng Bubat (Prabu Wangi), Putri Diyah Pitaloka dan para pengawalnya. Adapun sebutan Prabu Siliwangi I adalah Prabu Wastu Kencana yang memindahkan pusat Kerajaan Pajajaran dari Kawali (Ciamis) ke Pakuan (Bogor). Pada masa pemerintahan Prabu Wangi, Prabu Siliwangi I dan Prabu Siliwangi II Kerajaan Pajajaran dibawah satu kekuasaan atau dalam kata lain Pasundan Timur dan Pasundan Barat bersatu di bawah satu Raja. Pasca Rahiyang Wastu Kencana, Kerajaan Pasundan terbagi dua; yakni Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Ciamis dibawah kekuasaan Ningrat Kancana dan Kerajaan Pakuan yang berpusat di Bogor di bawah kekuasaan Prabu Susuktunggal. Pada masa Prabu Siliwangi II itulah Pasundan bersatu lagi menjadi Pakuan Pajajaran yang berpusat di Bogor.

[3]  Menurut Babad Talaga, setelah peristiwa pembunuhan itu Prabu Talagamanggung beserta keratonnya ngahiyang (menghilang) dan menjadi Situ Sangiang sekarang. Menurut penulis sendiri, arti "ngahyiang" itu tidak lain melainkan Inna lillahi rājiūn wa inna ilahi rājiūn dalam arti Kembali Ke Sang Hiyang (Tuhan) dan bukan tilem.

[4]   Gunung Bitung tepatnya sebelah selatan Talaga, Desa Wangkelang, Kecamatan Cikijing, Kabupaten Majelangka. Tempat pertapaan Raden Panglurah sampai sekarang sering diziarahi orang.

[5]   Penulis merasa prihatin karena Patung Raden Panglurah hingga sekarang masih berada di negeri Belanda, adapaun patung adik beliau Bunda Raden Dewi Simbarkancana masih ada dan terawat baik di Talaga.

[6]  Istilah ceurik balilihan dan makna beberapa kata berikutnya adalah dari Bunda Dewi Simbarkancana sendiri, diberitahukan beliau kepada penulis secara spriritual pada tanggal 28 Januari 2008, kira-kira pukul 20.45 WIB.

[7]  Petilasannya masih terdapat di Desa Cengal, kira-kira 1 km Kampung Cadas, Desa Anggrawati, Kecamatan Maja-Majalengka.

[8]  Petilasannya terdapat di Blok Galumpit (Tegal Cawet) Desa Tegalsari-Maja.

[9]  Angka 7 tahun 3 bulan ini berdasarkan keterangan Bunda Ratu Simbarkancana, pada tanggal   27 Januari 2008 yang disampaikan secara spiritual kepada penulis.

1 komentar:

kusumaputra mengatakan...

Alhamdulillah.. Semoga orang sunda tidak lagi akan melupakan sejarah tentang nenek moyangnya, karena budaya sunda itu sangat besar manfaatnya untuk dilestarikan. Jadi pada umumnya orang Jawa Barat ULAH ERA BASA SUNDA..!Perlu juga dipahami, bahwa mencintai budaya lokal itu tidak akan mengurangi keimanan seseorang, apapun agamanya. Terima kasih.