SURAT TERBUKA BUAT SEGENAP PIMPINAN MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)

Jumat, 29 Februari 2008

 

Perihal:     Seruan Untuk Kembali Memperhatikan Tujuan Dibentuknya MUI dan Reposisi Kepemimpinan Internal.

 

Bismillahirrahmaanirrahiim

Allahumma shalli 'ala Muhammad wa aali Muhammad

Assalaamu `alaikum wr.wb

 

Tujuan dari dibentuknya MUI pada 26 Juli 1975 adalah untuk ikut serta berperan aktif dalam mewujudkan masyarakat yang aman, damai, adil dan makmur yang diridhai Allah dan sesuai dengan Pancasila, UUD 45 dan GBHN. Demikianlah tujuan dari MUI seperti yang tercantum dalam pasal 3 Pedoman Pokok MUI.[1]

Semenjak munculnya fatwa "Ahmadiyah sesat dan menyesatkan" yang dikeluarkan MUI pada Musyawarah Nasional ke-11 Majelis Ulama Indonesia 1980 di Jakarta disusul dengan fatwa MUI pada 29 Juli 2005 tentang haramnya mengikuti paham pluralisme, sekulerisme, liberalisme serta aliran sesat, telah terjadi banyak pengrusakkan, pembakaran, dan penutupan Mesjid milik Jemaat Ahmadiyah. Demikian juga dengan pengrusakkan dan penjarahan harta benda milik para pengikut Jemaat Ahmadiyah kerap terjadi, seperti di Lombok Timur NTB, Mataram NTB, Kampus Mubarak Bogor, Manislor Kuningan, Sadasari Majalengka, Sukapura Tasikmalaya, Singparna Tasikmalaya, Cikukulu Garut, dan lain-lain. Dari alasan-alasan pengrusakkan yang dilakukan mereka itu yang paling pokok adalah adanya "fatwa sesat" tentang Ahmadiyah dari MUI.

          Oleh karena kondisi yang demikian membahayakan inilah saya sebagai warga negara Indonesia yang syah berhak berpendapat dan mengusulkan kepada segenap Pimpinan MUI akan hal-hal sebagai berikut:

Pertama: Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai organisasi masa Islam biasa (bukan luar biasa) yang dibiyai oleh APBN harus lebih memperhatikan kembali tujuan semula, yakni: Ikut serta berperan aktif dalam mewujudkan masyarakat yang aman, damai, adil dan makmur yang diridhai Allah dan sesuai dengan Pancasila, dan UUD 45. Fatwa-fatwa "sesat" yang tidak dibarengi dengan fatwa "sesat" bagi para pelaku anarkis, pengrusakkan mesjid dan penjarahan rumah orang yang dicap sebagai pengikut aliran sesat adalah sangat tidak sesuai dengan ruh Islam, ruh Pancasila dan UUD 45. Menurut pendapat saya, sudah waktunya sekarang MUI tampil kemuka untuk membantu Pemerintah dalam membebaskan rakyat dari kebodohan dan kemiskinan dengan amal nyata (yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat) dan fatwa-fatwa yang menyejukkan serta tidak menimbulkan permusuhan dan anarkisme atas nama agama.

 

 Kedua: Saya mengusulkan adanya reposisi internal kepengurusan dan kepemimpinan MUI dengan mengutamakan para ulama yang RAHMATIS, NASIONALIS, MODERAT, arif dan bijaksana. Saya melihat secara kasat mata dan secara spiritual, bahwa MUI di era reformasi sekarang ini telah banyak dipengaruhi oleh pemikiran kelompok ISLAM GARIS KERAS atau WAHABISME. Saya khawatir lambat laun MUI akan sepenuhnya dikuasai secara de facto oleh kelompok garis keras dan hal ini sangat berbahaya mengingat Indonesia sangat berbeda dengan Afghanistan, Irak maupun Saudi Arabia. Kalau tidak ada perubahan, saya mengusulkan agar MUI untuk sementara dibubarkan sampai terbentuknya MUI yang moderat dan menyejukkan masyarakat. Kebiasaan buruk memaksakan kebohongan dan fitnahan agar kedua hal itu diakui oleh si tertuduh dan si terfitnah adalah sumber kebencian yang bisa merusak persatuan umat Islam, ini adalah salah satu PR yang harus segera dibasmi oleh MUI masa depan, yakni MUI yang menjadi harapan bangsa Indonesia.

 

Ketiga: Saya khawatir fatwa-fatwa MUI tentang haramnya pluralisme, sekulerisme, liberalisme dan aliran sesat akan dimanfaatkan kelompok-kelompok Islam Radikal atau bahkan oleh Al-Qaeda untuk mempengaruhi masyarakan Indonesia agar mempunyai pemikiran extra radikal dan mengklaim tafsir kebenaran tunggal dan tekstual atas dalil-dalil agama. Alhamdulillah, saya tahu banyak tentang strategi dan cara kelompok Islam radikal untuk menyusup dan mempengaruhi opini masyarakan agar terjadi sikap antipati terhadap kelompok Islam Moderat, Islam Liberal, atau pun Ahmadiyah karena saya belajar Islamologi dan dibesarkan dari dan pada keluarga besar Syarikat Islam (SI) bahkan sebelum ini saya termasuk anggota bai'atnya. Lebih dari itu saya memahami apa arti hijrah, jihad, khilafah (Negara Islam) dan teori merebut kekuasaan melaui kekuatan parlemen dan militer versi kelompok Islam radikal. Dari segi sosiologis hal ini sangat mungkin karena salah seorang paman (sepupu ayah) saya, Alm. Sa'ad, adalah salah seorang mantan komandan Teritorial DI/TII di wilayah Kabupaten Majalengka, ayah saya pun salah seorang tokoh SI di Majalengka dan saya sendiri mendapat pendidikan dasar keagamaan di lingkungan Syarikat Islam (SI) dan Persatuan Islam (PERSIS). Oleh karena itu, wajar saja saya dahulu sangat mengidolakan H.O.S Tjokroaminoto, Sekarmaji Kartosuwiryo, A. Hassan Bangil, dan Mohammad Natsir.

 

Keempat: MUI dalam menggeluarkan fatwa-fatwanya hendaknya betul-betul arif, bijaksana, penuh pertimbangan dan memperhatikan dampak negatif dari fatwanya itu bagi Persatuan dan Kesatuan Bangsa. MUI sudah sepantasnya mencontoh kearifan dan kebijaksanaan para Ulama dan Pemimpin Bangsa Indonesia yang tergabung dalam Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai seperti Ir.Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr.A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosuyoso, Abdulkahar Muzakir, H.Agus Salim, Akhmad Subarjo, K.H. Wahid Hasyim, dan Mr.Muhammad Yamin yang pada 22 Juni 1945 dan 18 Agustus 1945 telah penetapan Piagam Jakarta dan UUD 45.

        Coba kita ingat lagi betapa mulia langkah yang telah mereka tempuh, ketika itu tokok tokoh Islam menjadi mayoritas mutlak di Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai akan tetapi mereka tetap sabar dan bersikap proporsional, disamping itu mereka sama sekali tidak mempunyai keyakinan bahwa menyetujui Pancasila dan UUD 45 sebagai Dasar Negara RI adalah kafir karena melanggar ayat: ....waman lam yakhum bimā anzalallah faūlaika humul kāfirūn[2]. Bayangkan, jika ayat ini diartikan secara sempit dan tekstual sebagaimana pemahaman kelompok Islam radikal, mungkinkah RI bisa terwujud seperti sekarang? Atau seandainya ketika itu sudah ada organisasi semacam MUI, mungkinkah para ulama dan pemimpin bangsa yang tergabung dalam Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai difatwa kafir, zalim, fasik atau sesat?

Sehubungan dengan ekses dan dampak negatif fatwa sesat MUI, mari kita perhatikan teori mantiq tentang dilālah 'aqliyyah berikut ini:Banyaknya tindakan anarki yang menodai Islam dan membahayakan persatuan bangsa yang dipicu oleh fatwa sesat MUI terhadap Jemaat Ahmadiyah, menjadi dilalah (petunjuk) bahwa fatwa MUI itu berbahaya, tidak arif dan tidak bijaksana.

 

Kelima: Mengenai pemahaman dan keyakinan masih adanya nabi ghair musyarri' atau nubuwwat ghair tasyri' dan wahyu non syari'at setelah Nabi Muhammad SAW. Sebenarnya telah dijawab oleh Imam Jalaluddin As-Suyuthi rh, seorang mujaddid Islam abad ke-9 Hijriah, seorang ahli tafsir dan hadits yang kitab-kitabnya jadi rujukan umat Islam di seluruh dunia, dalam hal ini beliau menulis:

"Ya, benar demikian. Muslim, Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan lain-lain meriwayatkan hadits dari Nawas bin Sam'an, Rasulullah bersabda: ……..bainamā huwa kadzālika idz auhallahu ila 'isa 'alaihis-salām "Sementara keadaan demikian Allah memberi wahyu kepada Isa bin Maryam". Dalam hadits di atas Allah memberi wahyu kepada Isa as. setelah turun di bumi nanti, dan tampaknya yang menyampaikan wahyu malaikan Jibril as., bahkan pasti dia, karena memang itu tugasnya, sebagai duta utusan antara Allah dengan rasul-rasul-Nya, yang tak ada malaikat lain menyandang jabatan ini, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Na'im dalam kitab Dalāilun Nubuwwah"[3]

 

Orang yang berprasangka itu berkata, "tapi dalilnya adalah, 'Tidak ada wahyu setelahku'". Kami berkata, "Hadits ini dengan lafazh seperti ini adalah tidak benar". Orang yang berprasangka itu berkata, "Dalilnya adalah hadits, 'Tidak ada nabi setelahku'". Kami mengatakan: Kasihan sekali engkau, tidak ada dalil pada hadits ini dari sisi mana pun, karena yang dimaksudkan oleh hadits ini adalah: tidak muncul setelahku seorang nabi dengan syariat yang menghapus syari'atku, sebagaimana yang ditafsirkan oleh para ulama."[4]

Pemahaman dan keyakinan Imam Jalaluddin As-Suyuthi seperti ini sebenarnya telah dipegangi pula oleh para Ulama Khawas dari kalangan ulama tasawuf, dimana mereka bukan saja fakar dalam Ilmu-ilmu Al-Qur'an, Hadis, dan bahasa Arab akan tetapi mereka termasuk para aulia yang pengalaman spiritual dan dunia khaibiyahnya tidak diragukan lagi. Mereka adalah, Syaikh Ar-Rabbani Abdul Wahhab Sya'rani rh, Syaikh Abdul Karim ibn Ibrahim Al-Jili rh, Syaikhul Akbar Ibnu Arabi rh. dan lain-lain.

Demikian juga tuduhan bahwa Ahmadiyah telah membajak Al-Qur'an adalah salah besar, keliru dan sangat berbahaya, karena yang sebenarnya terjadi hanyalah iqtibas. Dimana iqtibas sendiri adalah: An yudhammina al-mutakallimu mantsūrahu au manzhūmahu syai'an minal Qur'ani au al-hadiitsi 'ala wajhi lā yus'iru biannahu minhumā. Artinya: "Pembicara menyimpan prosa atau puisinya dengan sesuatu dari Al-Qur'an atau Hadits dengan cara yang tidak memberikan isyarat bahwa sesuatu itu berasal dari keduanya." Qaidah Ilmu Badi membolehkan mutakallim (pembicara) merubah sedikit pada kata yang diambil dari Al-Qur'an atau Hadits, yaitu karena untuk penyesuaian wazan atau sebab lainnya.. Iqtibas lazim dilakukan oleh Rasulullah SAW, para Shahabat ra, para Wali Allah, para Ulama, dan para Pujangga Muslim.

Secara logika, sebagai Imam Mahdi dan Al-Masih Al-Mau'ud sangat wajar jika Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad AS.  banyak menerima wahyu iqtibasi karena kedatangan beliau sendiri adalah penggenapan nubuwwatan Al-Qur'an, demikian juga wahyu-wahyu iqtibasi yang beliau terima sebagai bukti nyata bahwa wahyu dan bahasa Al-Qur'an adalah wahyu dan bahasa yang paling bagus, dimana atas kehendak Allah perlu diingatkan dan diwahyukan kembali melalui wahyu iqtibasi.

 

Keenam: Para pengikut Jemaat Ahmadiyah mengucapkan, meyakini dan mengamalkan Rukun Islam dan Rukun Iman yang diajarakan oleh Yang Mulia Rasulullah SAW.  Oleh karena itu tidak ada alasan mereka dinyatakan non-Muslim atau kafir. Takfir (pengkafiran sesama muslim) adalah budaya lama dan pengalaman pahit umat Islam masa lampau, kenapa kita mau mengulanginya kembali? Kalau saja manusia diberi wewenang oleh Allah untuk mengkafirkan orang yang tidak sefaham dengannya, maka di dunia ini sudah tidak ada lagi orang Islam. Bukankah ulama-ulama Rabbani dari kalangan sufi telah dikafirkan, diponis zindiq, dan diponis sesat oleh lawan-lawan mereka? Demikian juga ulama-ulama Wahabi yang seneng mengumbar fatwa bid'ah, sesat dan masuk neraka juga telah difatwa sesat dan kafir oleh lawan-lawan mereka? Bukankah Ahlus-sunnah dan Syai'ah pun telah terlibat saling mengkafirkan atau saling menyesatkan dari semenjak dahulu dengan alasan mereka masing-masing? Kalau saja saya (Ki Waras Jagat Pakuan)  dibolehkan oleh Islam pengkafiran sesama Muslim pasti saya akan kafirkan para pimpinan MUI dan RABITHAH ALAM ISLAMI yang telah mengeluarkan fatwa kafir dan sesat atas Ahmadiyah. Tapi Alhamdulillah, saya sadar bahwa TIDAK ADA HAK BAGI SESEORANG UNTUK MENCAP KAFIR PARA PENGUCAP DUA KALIMAH SYAHADAT, karena saya BUKAN TUHAN dan BUKAN PULA NABI yang senantiasa dibimbing wahyu. Kita sangat mungkin keliru dan salah, jadi KENAPA HARUS AMBIL RESIKO "JADI KAFIR" KARENA "MENGKAFIRKAN" PARA PENGUCAP DUA KALIMAH SYAHADAT?

 

Ketujuh: Terakhir, munculnya bencana dan musibah yang datang silih berganti di negeri kita dewasa ini, secara faktual dan spiritual  saya memahaminya sebagai teguran agar bangsa Indonesia kembali membudayakan cinta kasih terhadap sesama makhluk Tuhan, tidak memamerkan kemurkaan dan kebencian terhadap sesama, tidak membiarkan adanya penganiayaan dan penindasan kelompok mayoritas terhadap minoritas, dan tidak menghianati perjanjian luhur bangsa Indonesia, Pancasila. Ambisi untuk membumihanguskan Ahmadiyah dari Indonesia harus dikubur jauh-jauh, karena hal itu hanya akan membuat Indonesia lebih merana dan mengundang kemurkaan Allah Ta'ala. Insya Allah dengan mengamalkan beberapa poin ini rahmat, karunia dan perlindungan Allah SWT akan segera memenui bumi Indonesia.

 

Jazakumullah khairal jaza, 'DAMAI DAN JAYALAH INDONESIA' Billahi fī sabīlilhaqq, walhamdulillahi rabbil `alamiin.

 

Bumi Pasundan, 22 Safar 1429 H (29 Feb. 2008).

 

Wassalam,

al-muftaqir ilallah

 

 

Ki Waras Jagat Pakuan*

*Penulis adalah seorang ex penganut Islam Radikal, pengamat Budaya Sunda,   dan mantan stap pengajar dan seksi kurikulum Pesantren As-Salam Maja-Majalengka. Coment: kijagat@gmail.com atau kiwaras.blogspot.com

 



[1] Lihat, Ensiklopedi Islam Indonesia, Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Penerbit Djambatan, 1992, hal. 595.

[2] Al-Maidah [5]:44

[3] Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Turunnya Isa bin Maryam Pada Akhir Zaman, terjemahan AK.Hamdi, CV.Haji Masagung, Jakarta, 1989, hal 46 � 47.

[4] Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Turunnya Isa bin Maryam Di Akhir Zaman, terjemahan Abdurrahim Ahmad,Najla Press, Jakarta, 2008, hal 90-91.

 

1 komentar:

Rijalul Ghaib mengatakan...

Memang perlu keterbukaan, kalau segalanya sudah terbuka, ya mungkin bakal tidak ada lagi fitnah-fitnah dan kesalah pahaman. Kalau segalanya telah terbuka, apa masih ada juga orang yang mau mengada-adakan mengenai perihal orang lain?? Semoga tidak ada lagi.