PENERAPAN SYARI’AT ISLAM DIBALIK DESAKAN PEMBUBARAN AHMADIYAH

Senin, 09 Juni 2008

 

Oleh: Ki Waras Jagat Pakuan


Sebagai seorang muslim yang dibesarkan dan didik di lingkungan Syarikat Islam (SI), penulis semenjak kecil telah dikenalkan dengan hidup berorganisasi bahkan berpolitik praktis. Ketika PSII berubah menjadi SI (“SI” Ibrahim), keluarga saya menjadi anggota dan mendukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP), penulis sendiri ikut berjuang mendukung PPP dalam beberapa proses Pemilu di zaman Orde Baru walaupun terkadang harus mendapatkan diskriminasi dan intimidasi oknum-oknum penguasa ketika itu.

Pada masa itu, penulis mempunyai keyakinan bahwa hanya dengan mendukung partai Islamlah, syari’at Islam akan bisa ditegakkan. Demikian juga halnya dengan 8 kata dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter yang berbunyi: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya diharapkan bisa kembali diperjuangkan untuk dimasukkan dalam Sila Pertama dari Pancasila. Cita-cita akan terealisasinya penegakkan syari’at Islam secara kaffah di seluruh wilayah Indonesia menjadi semangat hidup penulis.

Penulis sangat menggandungi buku-buku Islam Politik, seperti buku Piagam Jakarta karya H.Endang Saifuddin Anshari (ketika itu beliau aktif mengajar di fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Gunung Djati Bandung) dan buku-buku K.H. Mohammad Natsir, tokoh besar Masyumi dan lain-lain. Mendengarkan ceramah-ceramah “panas” anti asas tunggal Pancasila para tokoh Islam garis keras, seperti Mawardi Noor dan Jamalulail penulis anggap sebagai sarana untuk mengobarkan semangat jihad dalam penegakkan hukum Islam.


Isu Penegakkan Syar’iah Islam dan Negara Khilafah

Pasca penyerbuan Komando Laskar Islam pimpinan Munarman, 1 Juni 2008 di Monas atas masa AKK-BB yang sedang memperingati Hari Jadi Pancasila. Penulis yang kebetulan sudah tidak lagi berada dibarisan Islam garis keras sungguh sangat terpukul, malu dan merasa terpanggil untuk berbagi pengalaman dan pemikiran dengan segenap anak bangsa agar lebih mencintai dan memahami arti pentingnya perdamaian dan persatuan bangsa.

Dalam analisa politik penulis, tindakan-tindakan anarkis FPI yang kerap mereka lakukan, sikap keras MMI dan HTI dalam menyuarakan penegakkan syari’ah Islam dan Negara Khilafah di Indonesia merupakan bagian dari aksi-aksi untuk mendukung diakomodirnya 8 kata dalam Jakarta Charter: …..dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya ke dalam system hukum negara.

Menurut hemat penulis, keinginan semacam itu jika tidak dibarengi dengan kesadaran, kelapangan dada dan keyakinan akan pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa akan berdampak negatif dan fundamental bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara di NKRI tercinta ini.

Yang menarik adalah apa yang ditulis oleh Dr. Moh. Mahfud MD, salah seorang anggota hakim Mahkamah Konstitusi dalam Surat Kabar Seputar Indonesia, 22 Januari 2008, halaman 6 dibawah judul Perekat Bangsa, Pembela NKRI diantaranya beliau menulis:

Pada awal Juni 2001, ketika ketegangan politik antara Presiden Abdurrahman Wahid dan MPR/DPR sedang memuncak, saya diminta untuk beberapa “tokoh militan” Islam untuk mempertemukan mereka dengan Presiden. Seperti diketahui, pada saat itu Gus Dur mengancam akan membubarkan MPR/DPR dengan dekrit karena dua itu telah melanggar konstitusi, sedangkan partai-partai politik, melalui MPR, mengancam akan melengserkan Gus Dur karena dianggap Tap MPR.

Sebagai menteri pertahanan, saat itu saya dianggap sangat dekat dan bisa berperan meminta Presiden menerima tokoh-tokoh militan itu. Ketika saya tanyakan kepada mereka, apa yang akan mereka sampaikan kepada Presiden, saya kaget dan agak bergidik karena mereka menjawab akan membela dan mempertahankan Gus Dur sebagai Presiden, asal Gus Dur mau mengeluarkan dekrit presiden tentang pemberlakuan syari’at Islam di seluruh Indonesia. Dalam tafsiran saya, mereka ingin menggunakan tangan presiden yang ketika itu sedang terjepit untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam.

Mereka mengatakan, jika Gus Dur mendekritkan berlakunya syari’at, maka berjuta-juta orang Islam akan datang ke Jakarta untuk membela Gus Dur, termasuk menghadapi tentara dan polisi jika mereka tak mau melaksanakan dekrit kepala Negara itu. Kata mereka, Gus Dur tak perlu mengeluarkan dekrit pembubaran MPR dan DPR, tetapi langsung saja mendekritkan berlakunya syari’at Islam agar dukungan umat Islam kuat baginya.

Saya menolak permintaan mereka dengan mengatakan bahwa presiden tidak tertarik dengan usul itu, padahal saya belum menyampaikan keinginan bertemu dan usul mereka kepada Presiden.

Pandangan NU

Ketika saya menyampaikan masalah itu kepada presiden dengan penjelasan seakan-akan saya belum menolak keinginan mereka, ternyata jawaban Gus Dur membuat saya plong. Gus Dur meminta agar saya tidak menghiraukan mereka. Kata Gus Dur, jika MPR tetap melanggar konstitusi dalam memperlakukan presiden, MPR tetap di bubarkan, tetapi dirinya tak akan pernah mengeluarkan dekrit untuk memberlakukan syariat Islam. ”Saya akan mempertahankan jabatan presiden sebagai hak konstitusi saya; lihat saja nanti presiden atau MPR yang jatuh. Tetapi tetapi saya tak akan pernah mendekritkan syariat Islam karena hal itu bertentangan dengan apa yang saya perjuangkan selama puluhan tahun, yakni mempertahankan Indonesia memiliki dasar Pancasila, bukan negara agama;” demikian Gus Dur menyatakan kepada mentri pertahananya.

Menurut Gus Dur, sikap finalnya tentang Negara berdasarkan Pancasila itu merupakan harga mati yang menjadi pandangan Nahdhatul Ulama (NU), berdasarkan ijtihad para ulama yang membidani dan membesarkan ormas Islam terbesar itu yang selalu ditegaskan setiap muktamar NU. Bahwa pandangan itu merupakan pandangan NU, bukan hanya pandangan pribadi Gus Dur, kiranya tak dapat dibantah. Pimpinan dan tokoh-tokoh NU lainya sejak dulu sampai sekarang selalu menyatakan sikap dan pandangan yang sama, yakni mempertahankan Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI)berdasarkan pancasila serta menolak eksklusivisme dan formalisasi hukum Islam.

Dalam menyikapi “day to day politics” misalnya, Gus Dur dan Hasyim Muzadi yang sama-sama tokoh NU boleh berbeda, tetapi dalam paham kenegaraan dan memosisikan Islam ealam hubunganya dengan NKRI kedua-duanya sama-sama nasionalis-religius dan penganut Islam inklusif khas NU.

Ketika kontroversi perda syariat merebak, ketua PBNU Hasyim Muzadi berteriak bahwa perda syariat tidak diperlukan karena ajaran Islam sudah hidup subur dikalangan umat Islam tanpa harus diberlakukan oleh Negara. Pemberlakuan hukum Islam secara formal-eksklusif melalui UU atau peraturan daerah hanya akan menimbulkan konflik politik yang dapat menggerogoti ikatan kebangsaan kita.

Ketika Hizbut tahrir Indonesia menyelenggarakan konfrensi khilafah Internasional pada 12 Agustus 2007, Hasyim Muzadi merupakan salah seorang yang mengkritik keras. Kata Hasyim, kalau konsep khilafah pasti akan mempersoalkan struktur ketatanegaraan dan Pancasila, sesuatu yang harus dilawan. Lagi pula, di Timur Tengah sendiri sekarang sudah tidak ada khilafah, karena hal itu sama sekali tidak operasional dan tidak dapat diterima.

Isu Pembubaran Ahmadiyah

Pasca penangkapan Rizieq Shihab, pimpinan Front Pembela Islam oleh polisi pada awal Juni 2008 dengan jelas kita saksikan bahwa isu yang segera dimunculkan secara besar-besaran adalah isu Pembubaran Ahmadiyah atau tuntutan SKB Pembubaran Ahmadiyah. Ada satu peristiwa yang sangat langka terjadi, dimana pada tanggal 6 Juni 2008 seorang tahanan, Rizieq Shihab diizinkan keluar tahanan dan berorasi di depan masa anti Ahmadiyah untuk menuntut pemerintah membubarkan Ahmadiyah, walaupun hasilnya hanya SKB tiga menteri yang hanya berisi peringatan keras terhadap Ahmadiyah untuk tidak menyebarkan ajarannya dan bahkan juga peringatan keras terhadap lawan-lawan Ahmadiyah agar jangan menyebarkan rasa permusuhan dan kebencian di tengah masyarakat ataupun berbuat anarki terhadap Ahmadiyah.

Penahanan Rizieq Shihab dan penyerahan diri Munarman (06/06/08) setelah beberapa hari buron telah membuat para tokoh Islam garis keras muncul ke permukaan, mereka serempak membela FPI dan menggalang kekuatan untuk mendesak pemerintah untuk segera membubarkan Ahmadiyah. Para pemimpin Islam garis keras baik yang berasal dari FUI, MMI, HTI, IM, GUI bahkan dari partai Islam seperti PPP dan PBB cukup cerdas memanfaatkan kondisi ini untuk menarik simpati umat Islam, terutama mereka yang masih berada diluar kelompok Islam garis keras.

Disamping itu, kelompok Islam garis keras telah memanfaatkan isu dan tuduhan penistaan agama oleh Ahmadiyah untuk memperbesar pengaruh mereka di masyarakat maupun di kalangan politikus partai-partai Islam agar mendukung gerakan mereka.

Isu Ahmadiyah sebenarnya bukanlah tujuan akhir dari gerakan kelompok Islam garis keras di Indonesia, karena tujuan akhir mereka adalah penerapan syari’at Islam secara kaffah menurut versi mereka di seluruh Indonesia. Jadi, dibubarkan atau tidak dibubarkannya Ahmadiyah oleh pemerintah, sama sekali tidak akan bisa menghentikan adanya pertentangan ideologi politik antara kelompok Islam radikal dengan kelompok Islam moderat, antara kelompok Islam radikal dengan kelompok nasionalis, dan kelompok Islam radikal dengan kelompok non muslim.

Adalah sangat mengkhawatirkan kita, ketika perjanjian luhur Bangsa Indonesia (Pancasila dan UUD 45) yang telah disepakati bersama pada tanggal 18 Agustus 1945 dengan semangat Bhineka Tunggal Ika, jika dikhianati oleh sekelompok masyarakat yang menginginkan NKRI menjadi satu negara agama dengan cara-cara inkonstitusional dan anti demokrasi. Seharusnya, kita sebagai bangsa yang besar mampu bercermin kepada sejarah bangsa kita sendiri. Betapa ruginya jika kita harus mengulangi kembali kekeliruan-kekeliruan yang pernah dilakukan oleh DI/TII, PKI, dan gerakan-gerakan sparatis lainnya. Di era persaingan dan globalisasi yang sangat ketat ini, seyogianya kita tetap setia kepada Perjanjian Luhur Bangsa Indonesia, yakni Pancasila dan UUD 45 agar energi bangsa kita tidak terkuras oleh pertarungan ideologi diantara sesama anak bangsa.

.

4 komentar:

Unknown mengatakan...

Memang insiden Monas ini terlalu di ekspos oleh media sehingga menutupi akibat dari keputusan pemerintah menaikkan BBM. Dan sekarang FPI menjadi kambing hitam pemerintah dalam pengalihan opini tersebut.
http://agama.infogue.com/penerapan_syariat_islam_dibalik_desakan_pembubaran_ahmadiyah

Anonim mengatakan...

Assalamu'alaikum wr.wb.

Bagaimana keadaan di daerah rantau? Saya salah seorang sohib antum. Tapi saat ini tidak perlu tahu siapa saya.

Anonim mengatakan...

ass.wr.wb kif luk yaa ustaadz, limuddatin tlowiilah teu tepang, daramang yeuh...gimana warnetnya nasorokumullah.

isa mengatakan...

Saya setuju dengan analisa tuan. Bagaimana kabar keluarga disana? Semoga bisa terus berkhidmat untuk Islam.
Salam juga untuk Fuad.
Wassalam

Abu Nashira
(www.cinta-islam.web.id)