Oleh: Ki Waras Jagat Pakuan
Sebagai seorang muslim yang dibesarkan dan didik di lingkungan Syarikat Islam (SI), penulis semenjak kecil telah dikenalkan dengan hidup berorganisasi bahkan berpolitik praktis. Ketika PSII berubah menjadi SI (“SI” Ibrahim), keluarga saya menjadi anggota dan mendukung Partai Persatuan Pembangunan (
Pada masa itu, penulis mempunyai keyakinan bahwa hanya dengan mendukung partai Islamlah, syari’at Islam akan bisa ditegakkan. Demikian juga halnya dengan 8 kata dalam Piagam Jakarta (
Penulis sangat menggandungi buku-buku Islam Politik, seperti buku Piagam Jakarta karya H.Endang Saifuddin Anshari (ketika itu beliau aktif mengajar di fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Gunung Djati Bandung) dan buku-buku K.H. Mohammad Natsir, tokoh besar Masyumi dan lain-lain. Mendengarkan ceramah-ceramah “panas” anti asas tunggal Pancasila para tokoh Islam garis keras, seperti Mawardi Noor dan Jamalulail penulis anggap sebagai sarana untuk mengobarkan semangat jihad dalam penegakkan hukum Islam.
Isu Penegakkan Syar’iah Islam dan Negara Khilafah
Pasca penyerbuan Komando Laskar Islam pimpinan Munarman, 1 Juni 2008 di Monas atas masa AKK-BB yang sedang memperingati Hari Jadi Pancasila. Penulis yang kebetulan sudah tidak lagi berada dibarisan Islam garis keras sungguh sangat terpukul, malu dan merasa terpanggil untuk berbagi pengalaman dan pemikiran dengan segenap anak bangsa agar lebih mencintai dan memahami arti pentingnya perdamaian dan persatuan bangsa.
Dalam analisa politik penulis, tindakan-tindakan anarkis FPI yang kerap mereka lakukan, sikap keras MMI dan
Menurut hemat penulis, keinginan semacam itu jika tidak dibarengi dengan kesadaran, kelapangan dada dan keyakinan akan pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa akan berdampak negatif dan fundamental bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara di NKRI tercinta ini.
Yang menarik adalah apa yang ditulis oleh Dr. Moh. Mahfud MD, salah seorang anggota hakim Mahkamah Konstitusi dalam Surat Kabar Seputar Indonesia, 22 Januari 2008, halaman 6 dibawah judul Perekat Bangsa, Pembela NKRI diantaranya beliau menulis:
Pada awal Juni 2001, ketika ketegangan politik antara Presiden Abdurrahman Wahid dan
Sebagai menteri pertahanan, saat itu saya dianggap sangat dekat dan bisa berperan meminta Presiden menerima tokoh-tokoh militan itu. Ketika saya tanyakan kepada mereka, apa yang akan mereka sampaikan kepada Presiden, saya kaget dan agak bergidik karena mereka menjawab akan membela dan mempertahankan Gus Dur sebagai Presiden, asal Gus Dur mau mengeluarkan dekrit presiden tentang pemberlakuan syari’at Islam di seluruh
Mereka mengatakan, jika Gus Dur mendekritkan berlakunya syari’at, maka berjuta-juta orang Islam akan datang ke Jakarta untuk membela Gus Dur, termasuk menghadapi tentara dan polisi jika mereka tak mau melaksanakan dekrit kepala Negara itu. Kata mereka, Gus Dur tak perlu mengeluarkan dekrit pembubaran
Saya menolak permintaan mereka dengan mengatakan bahwa presiden tidak tertarik dengan usul itu, padahal saya belum menyampaikan keinginan bertemu dan usul mereka kepada Presiden.
Pandangan NU
Ketika saya menyampaikan masalah itu kepada presiden dengan penjelasan seakan-akan saya belum menolak keinginan mereka, ternyata jawaban Gus Dur membuat saya plong. Gus Dur meminta agar saya tidak menghiraukan mereka. Kata Gus Dur, jika
Menurut Gus Dur, sikap finalnya tentang Negara berdasarkan Pancasila itu merupakan harga mati yang menjadi pandangan Nahdhatul Ulama (NU), berdasarkan ijtihad para ulama yang membidani dan membesarkan ormas Islam terbesar itu yang selalu ditegaskan setiap muktamar NU. Bahwa pandangan itu merupakan pandangan NU, bukan hanya pandangan pribadi Gus Dur, kiranya tak dapat dibantah. Pimpinan dan tokoh-tokoh NU lainya sejak dulu sampai sekarang selalu menyatakan sikap dan pandangan yang sama, yakni mempertahankan Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI)berdasarkan pancasila serta menolak eksklusivisme dan formalisasi hukum Islam.
Dalam menyikapi “day to day politics” misalnya, Gus Dur dan Hasyim Muzadi yang sama-sama tokoh NU boleh berbeda, tetapi dalam paham kenegaraan dan memosisikan Islam ealam hubunganya dengan NKRI kedua-duanya sama-sama nasionalis-religius dan penganut Islam inklusif khas NU.
Ketika kontroversi perda syariat merebak, ketua PBNU Hasyim Muzadi berteriak bahwa perda syariat tidak diperlukan karena ajaran Islam sudah hidup subur dikalangan umat Islam tanpa harus diberlakukan oleh Negara. Pemberlakuan hukum Islam secara formal-eksklusif melalui UU atau peraturan daerah hanya akan menimbulkan konflik politik yang dapat menggerogoti ikatan kebangsaan kita.
Ketika Hizbut tahrir Indonesia menyelenggarakan konfrensi khilafah Internasional pada 12 Agustus 2007, Hasyim Muzadi merupakan salah seorang yang mengkritik keras. Kata Hasyim, kalau konsep khilafah pasti akan mempersoalkan struktur ketatanegaraan dan Pancasila, sesuatu yang harus dilawan. Lagi pula, di Timur Tengah sendiri sekarang sudah tidak ada khilafah, karena hal itu sama sekali tidak operasional dan tidak dapat diterima.
Isu Pembubaran Ahmadiyah
Pasca penangkapan Rizieq Shihab, pimpinan Front Pembela Islam oleh polisi pada awal Juni 2008 dengan jelas kita saksikan bahwa isu yang segera dimunculkan secara besar-besaran adalah isu Pembubaran Ahmadiyah atau tuntutan SKB Pembubaran Ahmadiyah. Ada satu peristiwa yang sangat langka terjadi, dimana pada tanggal 6 Juni 2008 seorang tahanan, Rizieq Shihab diizinkan keluar tahanan dan berorasi di depan masa anti Ahmadiyah untuk menuntut pemerintah membubarkan Ahmadiyah, walaupun hasilnya hanya SKB tiga menteri yang hanya berisi peringatan keras terhadap Ahmadiyah untuk tidak menyebarkan ajarannya dan bahkan juga peringatan keras terhadap lawan-lawan Ahmadiyah agar jangan menyebarkan rasa permusuhan dan kebencian di tengah masyarakat ataupun berbuat anarki terhadap Ahmadiyah.
Penahanan Rizieq Shihab dan penyerahan diri Munarman (06/06/08) setelah beberapa hari buron telah membuat para tokoh Islam garis keras muncul ke permukaan, mereka serempak membela FPI dan menggalang kekuatan untuk mendesak pemerintah untuk segera membubarkan Ahmadiyah. Para pemimpin Islam garis keras baik yang berasal dari FUI, MMI,
Disamping itu, kelompok Islam garis keras telah memanfaatkan isu dan tuduhan penistaan agama oleh Ahmadiyah untuk memperbesar pengaruh mereka di masyarakat maupun di kalangan politikus partai-partai Islam agar mendukung gerakan mereka.
Isu Ahmadiyah sebenarnya bukanlah tujuan akhir dari gerakan kelompok Islam garis keras di
Adalah sangat mengkhawatirkan kita, ketika perjanjian luhur Bangsa Indonesia (Pancasila dan UUD 45) yang telah disepakati bersama pada tanggal 18 Agustus 1945 dengan semangat Bhineka Tunggal Ika, jika dikhianati oleh sekelompok masyarakat yang menginginkan NKRI menjadi satu negara agama dengan cara-cara inkonstitusional dan anti demokrasi. Seharusnya, kita sebagai bangsa yang besar mampu bercermin kepada sejarah bangsa kita sendiri. Betapa ruginya jika kita harus mengulangi kembali kekeliruan-kekeliruan yang pernah dilakukan oleh DI/
.
4 komentar:
Memang insiden Monas ini terlalu di ekspos oleh media sehingga menutupi akibat dari keputusan pemerintah menaikkan BBM. Dan sekarang FPI menjadi kambing hitam pemerintah dalam pengalihan opini tersebut.
http://agama.infogue.com/penerapan_syariat_islam_dibalik_desakan_pembubaran_ahmadiyah
Assalamu'alaikum wr.wb.
Bagaimana keadaan di daerah rantau? Saya salah seorang sohib antum. Tapi saat ini tidak perlu tahu siapa saya.
ass.wr.wb kif luk yaa ustaadz, limuddatin tlowiilah teu tepang, daramang yeuh...gimana warnetnya nasorokumullah.
Saya setuju dengan analisa tuan. Bagaimana kabar keluarga disana? Semoga bisa terus berkhidmat untuk Islam.
Salam juga untuk Fuad.
Wassalam
Abu Nashira
(www.cinta-islam.web.id)
Posting Komentar